Selasa 06 Aug 2013 14:17 WIB

Tiga Alasan Mengapa Hipmikindo Minta Penundaan Pajak UMKM

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
Perajin UKM (ilustrasi)
Foto: nenygory.wordpress.com
Perajin UKM (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) akan melayangkan surat permohonan peninjauan kembali atau penundaan aturan pengenaan pajak  usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Ketua umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Hipmikindo Maz Pandjaitan menyebutkan ada tiga butir poin alasan mengapa pihaknya keberatan jika pajak UMKM diberlakukan.

Alasan-alasan itu diantaranya, pertama adalah pengenaan pajak UMKM merupakan diskriminasi dalam bidang perpajakan sebab omzet adalah penghasilan bruto. Omzet itu terdiri dari biaya-biaya seperti biaya pokok, penjualan dan lain-lain. Jadi, dia menambahkan, omzet bukanlah penghsilan bersih bagi UMKM. “Di sisi lain, sebagian besar UMKM sudah dipungut Ppn atau berpotensi terjadinya pengenaan berulang,” tuturnya kepada ROL, Selasa (6/8).

Alasan kedua, lanjut Maz, berdasarkan undang-undang (UU) no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, maka UMKM tidak termasuk dalam subyek pajak. Selain itu, omzet usaha UMKM tidak disebut sebagai obyek pajak.

Alasan ketiga, pemerintah dewasa ini belum memiliki data yang valid mengenai jumlah UMKM di seluruh Indonesia. “Karena selama ini belum ada data UMKM berdasarkan nama, alamat. Pemerintah hanya menggunakan data agregat (global),” ucapnya.

Pihaknya, ungkap Maz, khawatir dengan ketidakjelasan identitas UMKM itu berpotensi akan menimbulkan kesalahan fatal dalam membuat prediksi-prediksi pencapaian target dan kebijakan penting lainnya. Oleh karena itu ia mengusulkan agar dalam penerapan pajak UMKM diperlukan data yang pasti, sehingga dapat diketahui sasaran yang akurat.

Menurutnya, untuk mendapat data UMKM yang akurat, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia perlu menyediakan anggaran untuk identifikasi UMKM.  “Untuk itu kami mengusulkan penundaan dan peninjauan kembali aturan pajak itu. Jadi kebijakan tersebut perlu ditinjau, ” ujarnya.

Ketentuan pajak bagi UMKM ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. PP ini terbit pada 12 Juni 2013 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2013. Namun Maz mengaku, aturan pajak ini masih belum berlaku. Adapun peredaran bruto (omzet) UMKM yang tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak, akan dikenai pajak dengan tarif pajak penghasilan (PPh) final sebanyak satu persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement