REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketertarikan investor asing menggarap bisnis persawahan nasional perlu ditanggapi dengan hati-hati. Meski mengaku belum mendengar rencana ini, Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Tunggul Iman Panudju, menduga rencana ini akan diwujudkan dengan memanfaatkan lahan atau sawah yang ada. Hal ini mengingat sawah yang diincar investor luasnya mencapai satu juta hektare (ha).
"Kalau itu terjadi, dugaan saya investor akan memanfaatkan sawah yang ada, tidak akan cetak sawah baru," ujarnya kepada ROL, Rabu (31/7).
Biaya mencetak sawah dikatakan cukup tinggi. Investor perlu melakukan penjajakan intim dengan petani sebagai pemilik lahan. Tanpa kolaborasi, akan sulit untuk mendapatkan lahan sekian ha. Lokasi lahan yang cukup besar untuk digarap berada di luar Pulau Jawa, salah satunya di Papua. Sedangkan, jika ingin berinvestasi di Pulau Jawa, investor harus membina para petani agar setuju menjadi produsen mitra bagi perusahaan.
Untuk menggarap satu ha sawah yang telah tercetak, biaya yang digelontorkan sekitar Rp 7,5 juta hingga Rp 10 juta. Apabila investasi sebesar Rp 20 triliun hingga Rp 50 triliun yang sering digaungkan investor benar adanya, maka modal yang dimiliki investor sudah lebih dari cukup. "Jangan sampai kita terjebak karena melihat iming-iming modal yang besar," ujarnya.
Tunggul menganggap keberadaan investor sebagai offtaker (pelaksana?) akan bermanfaat bagi petani. Sebab selama ini petani seringkali diperlakukan sebagai sapi perah dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang rendah. Dengan keberadaan investor, diharapkan ada jaminan agar petani mendapat untung yang signifikan.
Ia berharap pemerintah daerah (pemda) berada di belakang petani terkait kesepakatan harga. Hal ini mengingat pengetahuan kebanyakan petani hanya seputar urusan produksi. Pemda juga harus jeli mengenai durasi kontrak. Jangan sampai kontrak terjadi terlalu lama, sementara tren harga meningkat. Kontrak harus selalu diperbarui agar harganya baik.
Lebih jauh, ia menilai masih banyak kelemahan dalam penerapan kebijakan di lapangan. Masih juga ditemukan pembelian, misalnya gabah kering, jauh dibawah harga yang direkomendasikan. Petani menjadi enggan mempertahankan sawahnya karena harga produk yang murah. Dampaknya, budidaya tani tidak berjalan dan produksi terus menurun. "Ujung-ujungnya, kalau ada developer, petani akan menjual sawahnya, terjadilah alih fungsi sawah," kata Tunggul.
Pemda selama ini dinilai belum menempatkan sektor pertanian sebagai prioritas. Hal ini antara lain dilihat dari anggaran pertanian rata-rata yang tidak lebih dari 3 persen dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Selain itu, Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada kebanyakan bukanlah orang yang ahli di pertanian. "Padi belum jadi prioritas, meskipun anggarannya naik terus," ujarnya.