REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pasar uang Farial Anwar menilai belum ada sentimen positif yang akan mendorong penguatan rupiah. Sejauh ini fundamental Indonesia masih negatif sehingga pelemahan rupiah akan terus berlanjut.
"Fundamental ekonomi kita adalah neraca perdagangan, pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga dan inflasi. Tahun lalu yang fundamentalnya positif saja, rupiah melemah," kata Farial saat dihubungi ROL, Ahad (21/7).
Terus melemahnya rupiah salah satunya disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Kenaikan harga mendorong inflasi. Di akhir tahun inflasi Indonesia diperkirakan mencapai sembilan persen. Dengan nilai inflasi setinggi itu, tidak akan ada orang yang ingin memegang rupiah. Sehingga tren rupiah akan melemah.
Neraca perdagangan yang masih defisit juga mendorong tingginya permintaan dolar AS. Selain itu ketakutan akan tingginya bebang utang yang harus dibayarkan membuat perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam dolar AS mengumpulkan dolar. Sehingga kebutuhan dolar AS di pasar semakin tinggi, sementara di pasar sendiri dolar AS semakin tergerus.
Kekuatan dolar saat ini tidak bisa dikalahkan begitu saja. Di pasar modal pun investor asing banyak yang menarik dananya sehingga kebutuhan dolar AS semakin tinggi. Penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang terjadi beberapa pekan ini bukan karena masuknya investor asing, melainkan kekuatan investor lokal.
Pasar uang menilai Bank Indonesia (BI) juga mengeluarkan pernyataan yang kurang positif, yaitu sisa cadangan devisa yang semakin menipis akibat intervensi. Farial menilai BI tidak perlu mengeluarkan pernyataan seperti itu agar pasar uang tidak khawatir dengan kondisi rupiah.
Ia menilai sebaiknya nilai tukar rupiah diserahkan kepada mekanisme pasar. Dengan demikian nilai tukar akan bergantung pada kebutuhan dan permintaan. Jika terus dibiarkan, penguatan rupiah hanya akan menjadi sebuah delusi. "Ini akan lama karena saya tidak melihat ada tanda positif baik dari dalam maupun luar negeri," kata Farial.