REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Bank Indonesia (BI) menaikan suku bunga acuan BI rate dan suku bunga deposit facility (fasbi rate) masing-masing sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 6,5 persen dan 4,75 persen dinilai agresif. Sebelumnya, BI menaikkan BI rate dan fasbi rate masing-masing sebesar 25 bps menjadi 6 persen dan 4,25 persen.
"BI lebih agresif dari stance sebelumnya, karena baru kali ini kenaikan 50 bps dilakukan untuk BI rate dan fasbi secara bersamaan," ujar pengamat ekonomi Ryan Kiryanto, Kamis (11/7).
Ia menilai BI bertindak preemptive atau antisipatif untuk kendalikan rupiah dan inflasi. BI pun dipandang melihat proyeksi ekspektasi inflasi yang cenderung tinggi pascakenaikan harga BBM yang bertepatan dengan Ramadhan sehingga kenaikan harga bahan pokok nyaris tak terkendali.
BI juga melihat tekanan terhadap rupiah semakin besar terutama oleh karena kinerja necara perdagangan yang defisit. Walau pun dampak pernyataan Ben Bernanke sudah reda setelah smenyatakan pelonggaran kuantitatif (QE) masih berlanjut.
Ryan mengatakan dengan menaikan BI rate, BI berkeinginan inflasi segera turun dan rupiah segera menguat usai kenaikan BI rate dan bunga fasbi. Karena kalau hanya naik 25 bps dianggap belum akan efektif menjinakkan inflasi dan fluktuasi rupiah. "Konsekuensinya bank bakal segera naikkan bunga simpanan, lalu bunga kredit," ujar Ryan.
Bahkan LPS juga akan menaikkan LPS rate minimal 25-50 bps untuk simpanan rupiah untuk menenangkan pasar perbankan.