REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar (kurs) rupiah pada Selasa (25/6) pagi kembali bergerak di area negatif atau melemah seiring dengan tekanan dari pasar obligasi. Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta bergerak melemah sebesar 15 poin menjadi Rp 9.940 dibanding posisi sebelumnya Rp 9.925 per dolar AS.
"Tekanan jual dari pasar obligasi terus meningkat membuat tekanan di pasar rupiah. Tekanan mata uang juga terjadi pada nilai tukar Asia lainnya," kata Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih di Jakarta, Selasa (25/6).
Ia mengatakan bahwa aksi jual itu terjadi di sepanjang Juni dengan total penjualan sudah mencapai Rp 17,28 triliun atau setara dengan dua miliar dolar AS. Menurut dia, Bank Indonesia (BI) sebagai salah satu pembeli di pasar SBN menjadi penyanggah dari aksi jual asing itu.
Namun, kebijakan BI belum sepenuhnya dapat menghentikan aksi jual asing karena sentimen investor global saat ini cenderung negatif. Lana mengemukakan bahwa tekanan rupiah juga masih dibayangi hasil pertemuan the Fed pada tanggal 19 Juni lalu yang akan mulai mengurangi besaran stimulusnya menjelang akhir tahun, dan menghentikan program pembelian obligasi pemerintah sepenuhnya pada tahun 2014.
"Pernyataan itu membuat aksi jual investor sehingga mendorong penguatan dolar AS dan melemahkan mata uang lainnya," kata dia. Meski demikian, lanjut Lana, nilai tukar rupiah masih akan dijaga oleh Bank Indonesia (BI) agar tetap stabil fluktuasinya terhadap dolar AS.
Pengamat pasar uang Bank Himpunan Saudara, Ruly Nova, mengatakan bahwa di tengah proyeksi The Fed yang akan mengurangi stimulus keuangannya akan mendorong dolar AS terangkat. Namun, intervensi BI menahan penguatan mata uang AS lebih tinggi. Harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang telah dinaikkan, dia perkirakan dapat menjadi salah satu indikator nilai tukar mata uang domestik stabil.