REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Keuangan II Mahendra Siregar membenarkan pengaruh akibat rencana Bank Sentral Amerika Serikat menarik stimulus di 2014 telah terasa di Indonesia.
Pengaruh itu tergambar dari sisi pergolakan aliran modal yang selama ini ditanam di negara-negara berkembang (emerging market). "Jadi, mulai kelihatan di seluruh dunia. Kita melihat ini semua," ujar Mahendra saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (21/6).
Kementerian Keuangan maupun Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), kata Mahendra, melihat dampak kebijakan itu terjadi pada pasar uang (penurunan perubahan nilai tukar), pasar modal (penurunan indeks harga saham) maupun pasar obligasi (kenaikan yield).
"Itu terkait dengan perkembangan yang terjadi di AS dan global ini," ujar Mahendra.
Khusus untuk Indonesia, Mahendra menilai para pelaku pasar juga memperhatikan perkembangan terkait kebijakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Oleh sebab itu, kebijakan ini segera diputuskan dalam waktu dekat sehingga kepercayaan pelaku pasar dapat direspon dengan baik.
"Sehingga kemudian perkembangan atau pergolakan tadi bukan lagi oleh persoalan dalam negeri," ujarnya.
Lebih lanjut, Mahendra memastikan Indonesia selama ini fokus membenahi sistem fundamental ekonomi dalam perbaikan APBNP yang diikuti mengatasi masalah BBM.
Oleh sebab itu, Mahendra merasa langkah-langkah yang diambil pemerintah memberi penyeimbang yang kuat terhadap ekonomi Indonesia. "Sedangkan ekonomi globalnya memang harus kita hadapi. Tidak bisa mengelak atau menutup diri," ujar Mahendra.
The Fed berencana menghentikan kebijakan quantitative easing (QE) atau pembelian aset dan surat berharga dari pasar finansial. Langkah tersebut tak lepas dari tanda-tanda perbaikan pada perekonomian AS. Salah satu indikatornya adalah penurunan angka pengangguran di negeri Paman Sam.