REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan produksi minyak (lifting) dalam APBNP 2013 dinilai sebagai bentuk dikte asing terhadap pemerintah. Lifting minyak dalam APBNP 2013 sebesar 840 ribu barel per hari (bph), lebih rendah dari APBN yang sebesar 900 ribu bph.
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Ichsanuddin Noorsy mengatakan, turunnya lifting minyak merupakan bagian dari rekayasa asing mendikte pasar energi Indonesia. "Sejumlah investor KKKS mengembalikan semua dengan alasan sumur kering. Kita didikte asing. AS belum lama ini memproduksi shale oil," ujar Noorsy, Kamis (20/6).
Ia mengatakan, Indonesia tidak berdaulat atas kekayaannya sendiri. Apalagi selama ini target lifting minyak belum pernah tercapai. Alasannya karena terjadi pergeseran sumur.
Walau pun produksi minyak nasional berkurang, ia melihat cost recovery meningkat dari waktu ke waktu. Ia menganggap cost recovery sebagai pengeluaran negara dalam rangka untuk mensubsidi perusahaan swasta yang melakukan eksploitasi minyak mentah di Indonesia. Cost recovery digunakan untuk mengganti semua biaya yang ditanggung kontraktor migas dalam menghasilkan minyak mentah.
Ia juga mempertanyakan sikap pemerintah yang mengeluhkan besarnya subsidi BBM akan membuat neraca pembayan jebol. "Neraca pembayaran jebol karena nilai tukar jatuh, bukan karena BBM. Kita bayar utang pakai dolar AS," ujar dia.