REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu lifting minyak terus menjadi fokus pemerintah. Intinya, lifting minyak Indonesia saat ini, masih jauh dari konsumsi nasional.
Sehingga untuk memenuhinya, dibutuhkan tambahan dari impor. Alhasil pengeluaran negara membengkak. Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo kembali menyinggung urgensi untuk membenahi permasalahan tersebut.
"Saya titip yang berkaitan dengan lifting minyak, harus naik. Dengan cara apa pun, harus naik. Sumur-sumur yang kita miliki produktifkan. Karena begitu produksi turun, uang yang kita keluarkan besar sekali," kata Jokowi saat berbicara di hari jadi Pertambangan dan Energi ke-79 di Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (10/10/2024).
Presiden bercerita tentang diskusinya dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Ia mendapat informasi situasi terkini. Intinya, jangan dibiarkan berlarut-larut. "Saya baru tadi siang, menerima (kunjungan) Menteri Keuangan, pak ini lifting minyak kira enggak boleg dibiarkan turun terus seperti ini," tutur Jokowi, mengulang ucapan Menkeu padanya.
Oleh karena itu, ia mendorong eksplorasi secara masif. Investor tidak hanya perusahaan negara atau BUMN. Siapa saja boleh masuk, asalkan memenuhi komitmen dan aturan yang ditetapkan.
"Entah itu dikerjain sendiri, entah itu dikerjain BUMN, entah itu dikerjain Pertamina, entah itu dikerjain dengan kerjasama dengan sektor swasta, entah itu dikerjain dengan perusahaan asing, semuanya dilakukan. Jangan sampai lifting minyak kita, kita biarkan turun. Seliter pun nggak boleh, harus naik. Setiap tahun harus naik," katanya.
Sebelumnya, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia juga menyinggung lifting minyak Indonesia yang masih jauh di bawah kebutuhan nasional. Pada 2023 berada di angka 600-an ribu barel per hari (BOPD). Pemerintah harus mengimpor karena kebutuhan nasional di kisaran 1,6 juta BOPD.
Keadaan demikian, kontradiktif dengan target kemandirian ekonomi. Setelah masuk ke lingkungan ESDM, Bahlil mendapati beberapa fakta yang memicu penurunan lifting minyak, di antaranya, banyak sumur yang menua dan tidak produktif alias idle. Berikutnya, regulasi yang berbelit-belit hingga menghambat perizinan, dan lain-lain.
Terkait sumur, ia menjelaskan, saat ini, di Indonesia terdapat nyaris 45 ribu (44.900 sekian) sumur minyak. "Dan sumur yang produktif itu kurang lebih 16.500," kata tokoh yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Golkar ini di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Rabu (9/10/2024).
Selebihnya tidak produktif lagi. Bahlil lantas menjalin komunikasi dengan berbagai stakeholder terkait. Baik itu dengan SKK Migas, maupun kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Ia meminta mereka sama-sama berpikir untuk mencari formulasi terbaik guna meningkatkan lifting minyak. "Karena kalau kita impor terus, bisa berbahaya sekali."
Ia melanjutkan, setelah melakukan pengecekan di lapangan, dari 16 ribuan sumur idle, sekitar 5000 ribuan masih bisa dioptimalkan lagi. Produktivitasnya tidak sebaik sumur sekarang. Ia menerangkan dari total 600 ribuan BOPD lifting minyak Indonesia saat ini, dikuasai oleh dua kontraktor.
Pertama, Pertamina (BUMN), kedua Exxon Mobil. Pertamina sekitar 65 persen atau 400 ribuan BOPD. Lalu Exxon 25 persen. "Sisanya 10 persen yang kecil-kecil. Berati naik turunnya lifting minyak Indonesia, dipengaruhi oleh dua perusahaan ini," ujar Bahlil.
Kembali ke isu 5.000-an sumur idle yang masih bisa dioptimalkan. Setelah ia dan tim telaah, sumur-sumur tersebut lebih banyak dipegang Pertamina. Ke depan ia akan terus melakukan penataan. Tidak menutup kemungkinan negara mengambil alih dan kemudian ditawarkan ke perusahaan apa saja demi meningkatkan lifting minyak nasional.
Ia memahami negara lebih memprioritaskan pada BUMN seperti Pertamina. Pada saat yang sama, ada target besar yang dikejar. "Negara butuh produksi bapak ibu. Sumurnya sudah ada," ujar Bahlil.