Ahad 12 May 2013 18:57 WIB

Subsidi BBM Ibarat Penyakit Kanker

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).   (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ekonomi Wijayanto Samirin mengatakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ibarat penyakit kanker yang perlu diakhiri sebab semakin ditunda keadaan akan semakin buruk.

"Kita harus membedakan dampak jangka pendek, menengah dan panjang, pengurangan subsidi BBM akan menimbulkkan sedikit ketidaknyamanan dalam jangka pendek," kata Wijayanto di Jakarta, Ahad (12/5).

Direktur Pelaksana Paramadina Public Policy Institute itu mengatakan kenaikan harga BBM karena pengurangan subsidi akan menyebabkan inflasi selama dua bulan atau tiga bulan. 

Namun, kata Wijayanto, seperti pengalaman-pengalaman kenaikan harga BBM sebelumnya, dalam jangka menengah dan panjang keadaan perekonomian akan semakin membaik.

Menurutnya, kenaikan BBM secara temporer akan menurunkan kredit perbankan dan menaikan suku bunga. Risiko politik menjelang Pemilu 2014 yang dikhawatirkan sebagian kalangan, kata dia tidak akan terlalu memengaruhi kinerja perbankan.

"Walaupun demokrasi kita masih dalam taraf transisi, tetapi masyarakat kita cukup dewasa dalam `bermain`. Yang terpenting, para elit politik harus siap menang dan kalah dengan baik," ujar Wijayanto.

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kenaikan harga BBM bersubsidi dilakukan untuk menyehatkan APBN. Namun, pelaksanaannya jangan sampai berdampak buruk kepada masyarakat, terutama masyarakat miskin, melalui kompensasi kenaikan harga BBM.

Kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi bagi masyarakat miskin berupa program-program yang sudah berjalan saat ini yaitu beras miskin (raskin), beasiswa siswa miskin (BSM) dan program keluarga harapan (PKH). Selain itu, pemerintah juga menyiapakan program bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement