REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Penghapusan Bensil Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan kenaikan harga BBM bersubsidi manipulatif. Karena pemerintah dan Pertamina menggunakan acuan oktan tinggi untuk memutus harga BBM bersubsidi yang beroktan rendah.
"Selama ini penerapan harga BBM bersubsidi menggunakan acuan mid oil plats Singapore (MOPS), di mana harga rata-rata menurut MOPS ditambah dengan alpha sebagai profit margin bagi Pertamina," jelasnya dalam Seminar Warga Negara Menggugat Harga BBM, Kamis (2/5).
Di 2010 misalnya, saat harga minyak dunia berada pada level 80 dolar AS per barel, harga bensin menurut MOPS sebesar Rp 5617 per liter. Itu dihitung dengan kualitas RON 92 lalu benzene maksimal 2,5 persen, aromatic maksimal 40 persen, olefin maksimal 20 persen dan belerang maksimal 500 ppm. "Ini kan seperti Pertamax," ujarnya.
Ia mengatakan hal ini tidak adil dan tidak sebanding dengan patokan penetapan harga premium yang kualitasnya lebih rendah yakni RON 88, kadar benzene lima persen, aromatic 10 persen, dan olefin 35 persen.
Lagipula, ditegaskannya, bila hendak dinaikkan, pemerintah juga harus memasukkan kualitas BBM bersubsidi RI. Di AS misalnya, harga bensin dipatok sebesar 55 sen dolar AS per liter atau setara dengan Rp 5000 per liter karena kualitasnya yang tinggi Category IV berdasar standar World Wide Fuel Charter (WWFC).
WWFC adalah asosiasi industri mobil dan minyak dunia. WWFC menetapkan kualitas BBM dengan kategori I hingga IV, dengan angka semakin besar semakin baik kualitas bahan bakar tersebut.
Sedangkan BBM subsidi yang dikonsumsi di Indonesia dipatok dengan harga Rp 4.500 per liter tidak termasuk dalam standar WWFC. "Terkesan harga BBM subsidi kita paling muraah dibandingkan negara lain. Negara lain mungkin harganya relatif lebih mahal tapi juga dengan kualitas yang lebih tinggi," kata dia.
Sementara itu, pengamat ekonomi Yanuar Rizky meminta pemerintah tidak menjadikan kompensasi kenaikan BBM bersubsidi sebagai alat politik. Ditegaskannya, pemerintah tak boleh menjadikan instrumen ini untuk menggalang dukungan masyarakat.
"Ini kan rawan. Kalau begini kan seolah-olah, naikkan BBM bersubsidi hanya untuk melancarkan BLT (bantuan langsung tunai) saja," katanya.
Lagipula, selain menaikkan BBM bersubsidi, ia menilai pemerintah sebenarnya punya cara lain untuk mengakali persoalan konsumsi BBM bersubsidi ini. Apalagi, bila ditelaah lebih jauh, tergerogotinya anggaran karena BBM bukan akibat harga minyak tapi pelemahan rupiah.
"Defisit itu bukan karena migas tapi nilai tukar (rupiah terhadap dolar AS) yang melemah," katanya. Seharusnya managemen investasi bisa dilakukan pemerintah untuk mengatur soal ini.
"Kalau toh ingin mendapat uang dari BBM, pemerintah bisa menerapkan pajak misalnya pajak emisi kendaraan," jelasnya. Bila kendaraan konsumen memiliki kandungan emisi diambang batas tertentu, ia dikenai pajak dengan nominal tertentu oleh pemerintah.