REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta segera melakukan finalisasi skema jaminan kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Ketua Dewan Penguapahan Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi B Sukamdani meminta kejelasan sikap pemerintah mengenai tuntutan pekerja.
Pekerja menginginkan masuk ke dalam kelompok penerima bantuan iuran (PBI) alias tidak ingin membayar iuran kesehatan. Menurut dia, tidak semua pekerja bisa masuk dalam katagori PBI. Namun, kata dia iuran umumnya kesehatan wajib dikenakan untuk pekerja maupun pengusaha.
Ia mengatakan pemerintah harus memiliki kriteria PBI. Bagi pekerja informal dengan pendapatan yang rendah, kata dia bisa masuk dalam katagori PBI. Namun, bagi pekerja formal harus dilibatkan dalam iuran BPJS.
"Kalau mereka memenuhi kriteria PBI, bisa saja mereka tidak membayar iuran," ujar Haryadi, Rabu (10/4) di sela-sela musyawarah nasional (MUnas) Apindo.
Sebaliknya, Haryadi mengatakan iuran yang dibebankan kepada pengusaha maupun pekerja tidak terlalu jauh dibandingkan dengan besaran yang disubsidikan kepada PBI. Sejauh ini, ada dua angka yang masih diusulkan dibayarkan tiap bulan oleh pekerja yang mampu dan pengusaha yakni Rp 27.000 atau Rp 22.500.
"Mengenai iuran sebaiknya nggak terlalu jauh antara penerima bantuan dengan yang diiur oleh non BPI," katanya menambahkan.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengatakan semua warga negara harus berpartisipasi dalam iuran kesehatan. Hingga saat ini, kata dia pemerintah masih membahas mengenai skema pembayaran iuran ini.
"Yang penting dua pihak harus bisa membayar, pekerja maupun pengusaha. Jangan sampai hanya pengusahanya saja," ujar dia.
Pemerintah telah mengalokasikan Rp 16,7 triliun untuk biaya kesehatan masyarakat miskin. Rinciannya sebesar Rp 15.500 diberikan kepada 86,4 juta jiwa. Di luar dana itu, ada Rp 2 triliun dana cadangan untuk biaya kesehatan. Menurutnya, sejak 2011, pemerintah sudah mulai membangun infrastruktur kesehatan dengan biaya Rp 3-5 triliun.