REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertanian Khudori berpendapat aturan tarif bea masuk impor akan efektif untuk membenahi izin impor yang selama ini banyak terindikasi praktik kartel. "Pemerintah harus atur regulasinya bagaimana membenahi izin impor. Sekarang (dengan sistem kuota) itu tertutup sehingga disinyalir ada kongkalikong antara pihak yang bagi-bagi kuota dengan yang menerima," kata Khoduri saat dihubungi di Jakarta, Selasa (19/3).
Dengan menggunakan sistem tarif bea masuk impor, pemerintah bisa melindungi petani lokal untuk memenuhi kebutuhan nasional. Contohnya Jepang yang menerapkan sistem tarif bea masuk impor tinggi untuk sejumlah komoditas guna melindungi produksi dalam negeri.
"Di Jepang, harga beras sangat tinggi. Beras yang masuk dari luar ke sana, kalau dikurs-kan bisa mencapai Rp 60 ribu-Rp 70 ribu per kilogram, karena pasarnya sangat pro dalam negeri," paparnya.
Meski mengakui Indonesia bisa menerapkan sistem yang sama, Khudori mengatakan negara ini masih terkendala liberalisasi pasar dari sejumlah kesepakatan perdagangan bebas. Selain itu, inefisiensi distribusi pasokan juga dinilainya masih menjadi kendala utama carut marut masalah pangan nasional.
Dalam kesempatan berbeda, usul serupa juga diungkapkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Lembaga itu menyatakan bahwa sistem tarif akan mampu menyelesaikan masalah tingginya harga pangan akibat pasokan yang berkurang.
"Kuota itu hambatan pasar karena yang bisa impor adalah orang tertentu yang punya kuota. Kalau ingin melindungi produsen kita, pakai tarif. Kalau kuota tidak melindungi," kata Komisioner dan Ketua Bidang Pengkajian KPPU Munrokhim Misanam.
Munrokhim juga mengatakan sistem tarif akan berdampak langsung terhadap harga komoditas sehingga bisa melindungi petani sekaligus sesuai dengan kemampuan masyarakat luas. "Sistem tarif itu juga hasilnya jelas, karena uang sepenuhnya bisa masuk ke kas negara untuk tambah penerimaan negara. Kalau dengan sistem kuota, kita tidak tahu posnya kemana," katanya.