REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai wajar Pertamina meminta kenaikan harga elpiji ukuran tabung 12 kilogram (kg). Pasalnya, sebagai BUMN, Pertamina selama ini memang terus menanggung rugi dari biaya penjualan elpiji tersebut.
"Kalau dilihat sebagai Persero, Pertamina memang menjual itu di bawah biaya pokok," tegas pengurus YLKI, Sudaryatmo pada ROL, Kamis (21/2). Menurutnya dalam UU BUMN, perseroan memang dilarang menjual produk di bawah harga pasar.
Namun, ujar dia, masalahnya kini berada di tangan pemerintah. Ia menuturkan bila pemerintah tetap ingin menunda kenaikan harga, sebaiknya pemerintah memasukan elpiji 12 kg dalam program bersubsidi.
"Problemnya kan memang di tangan pemerintah. Kalau membiarkan ini, dia membuat pengingkaran pada UU BUMN. Yah, kalau tak mau dinaikan sebaiknya jadikan juga LPG 12 kilogram ini bersubsidi," jelasnya.
Dengan melakukan ini, maka biaya kerugian akan ditanggung pemerintah. Sedangkan dengan konsep sekarang, Pertamina menanggung sendiri semua kerugian penjualan.
Berdasarkan data Pertamina volume elpiji 12 kg mencapai lebih dari 75 persen total volume LPG nonsubsidi. Dari realisasi penjualan elpiji nonsubsidi sebesar 1,168 juta metrik ton (MT), penjualan elpiji 12 kg mencapai 918.137 MT. Sementara elpiji tabung 50 kg mencapai 250.625 MT.
Sedangkan penjualan elpiji bersubsidi ukuran tabung 3 kg mencapai 3,9 juta MT. Dengan memasukkan elpiji 12 kg ke dalam program subsidi, maka setidaknya Pertamina harus menyediakan sekitar 5 juta MT.
Sebelumnya Pertamina mengajukan kenaikan elpiji 12 kg. Pertamina menginginkan kenaikan harga elpiji dari semula Rp 70.200 per tabung menjadi Rp 95.600 per tabung.
Tingginya CP Aramco yang menjadi patokan harga jual elpiji menjadi salah satu penyebab mengapa Pertamina ingin menaikkan harga. Harga CP Aramco terus naik dari 858 dolar AS di 2011 menjadi 917 dolar AS di 2012.