REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah menaikkan harga jual listrik ke PT PLN (Persero) yang dihasilkan energi baru dan terbarukan untuk lebih meningkatkan keekonomian pengembangannya.
Wakil Menteri ESDM, Rudi Rubiandini di Jakarta, Rabu (5/9) mengatakan, pemerintah berharap melalui peningkatan tarif listrik tersebut, maka target bauran energi dari EBT yang ditetapkan sebesar 17 persen di tahun 2025 dapat tercapai. "Meski tidak mudah, kami akan mengejar 17 persen porsi EBT dalam bauran energi di 2025," ujarnya.
Menurut Rudi Rubiandini, harga jual listrik dari EBT yang terlalu murah, membuat investor kurang tertarik dan juga kalah bersaing dengan BBM yang disubsidi. Rudi mengatakan, pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2012 yang menaikkan harga jual listrik dari panas bumi.
Sebelumnya, tarif listrik dipatok maksimal 9,7 sen dolar AS per kWh. "Namun, dengan aturan baru naik menjadi 10-18,5 sen dolar AS per kWh tergantung wilayahnya," ujarnya.
Pemerintah, lanjutnya, juga telah meningkatkan harga jual listrik yang dihasilkan biomassa dari sebelumnya Rp 656 menjadi antara Rp 975-Rp 1.050 per kWh. Selanjutnya, menurut dia, pemerintah sedang menyiapkan aturan yang menaikkan harga jual listrik dari mini atau mikro hidro yang sebelumnya Rp 656 menjadi Rp 975-Rp 1.050 per kWh.
Variasi harga jual listrik tersebut tergantung tempat, daerah perintis, dan keekonomian proyek. Pemerintah juga sudah mewajibkan PLN membeli listrik sesuai permen. "Dengan demikian, soal harga tidak menjadi alasan lagi," ujarnya.
Ia juga meminta semua pihak tidak melihat harga jual EBT yang mahal. "Sebab, mahal di sini terkompensasi dengan manfaat yang jauh lebih besar terutama minim polusi," katanya.
Apalagi, tambahnya, prosentase pemanfaatan EBT hanya kecil, sehingga tidak banyak memakai anggaran subsidi dibandingkan BBM, gas, atau batubara. "Jadi, kalau mahal sedikit, tidak apa-apa," katanya.
Rudi juga mengatakan, selain harga, kendala pengembangan EBT lain yang juga telah dan sedang diatasi pemerintah adalah pendanaan dan tumpang tindih lahan. Dari sisi pendanaan, investor kurang bergairah karena ketiadaan jaminan atas pembayaran dan perbankan juga kurang tertarik.
Terkait lahan, menurut dia, karena sebagian besar proyek EBT berlangsung di kawasan hutan, sehingga sering kali terkendala peraturan maupun pemanfaatan lahan. Pemerintah, lanjutnya, sudah meminta daerah lebih kooperatif dengan proyek EBT, karena listrik yang dihasilkan untuk daerah juga.
Sesuai Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006, pemanfaatan EBT dalam bauran energi ditargetkan 17 persen pada 2025. Per 2011, porsi EBT masih 5,7 persen, lainnya minyak 49,7 persen, gas 20,1 persen, batubara 24,5 persen. Pada 2025, target bauran energi adalah minyak 20 persen, gas 30 persen, batubara 33 persen, dan EBT 17 persen.