REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah dan aparat hukum diminta melakukan proses penyelidikan terhadap kemungkinan adanya mafia tata niaga kedelai yang diduga melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).
"Akibat kenaikan harga kedelai menyebabkan penurunan keuntungan pengusaha tahu tempe. Bila ini dibiarkan akan terjadi proses pemiskinan secara sistemik akibat harga pangan yang tidak terkendali," kata anggota Komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.
Ditambahkan, untuk mengatasi kelangkaan kedelai, pemerintah melakukan langkah-langkah penting. "Misalnya menambah alokasi dana Kementerian Pertanian (Kementan) minimal 10 persen dari APBN. Hal ini akan mempercepat program swasembada pangan karena program-program ke arah swasembada akan dapat dilaksanakan secara masif, sinergis, dan integratif," kata Viva.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu juga meminta pemerintah mensinergikan hasil riset pertanian yang berkualitas, terutama yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan Balitbang pertanian dengan industri pertanian yang melibatkan pihak investor dan para entrepreneur.
Tak hanya itu, pemerintah bisa mengambil alih kendali pasokan dan harga bahan pangan yang selama ini ditentukan oleh mekanisme pasar.
"Untuk terjadinya pasar sempurna sangat sulit sehingga proses supply and demand ditentukan oleh negara produsen dan pelaku usaha impor yang berjumlah sangat sedikit tapi dapat mengalahkan kekuasaan negara/ pemerintah. Pangan itu bukan komoditas politik karena menyangkut kedaulatan negara," ungkap dia.
Ia menilai, naiknya harga kedelai dan membuat pengusaha kecil semakin merana menunjukkan bahwa negara tidak berdaulat di bidang pangan karena sebagian besar komoditas pangan, beras, kedele, jagung, daging, garam, susu, gandum adalah impor. Belum lagi impor hortikultura.
"Kondisi pangan nasional sangat ditentukan oleh negara produsen dan pelaku usaha impor yang mengendalikan pasokan dan harga," kata Viva.
Dia juga menyebutkan, pemerintah tidak memiliki political will dalam kebijakan pembangunan pertanian.
"Hal itu dibuktikan dari segi budgetting Kementerian Pertanian yang sangat kecil yaitu 1,3 persen dari APBN 2012, atau sekitar Rp17,8 triliun. Dana ini tidak cukup untuk merevitalisasi infrastruktur pertanian dan tidak bisa mempercepat program swasembada pangan 2014," ujar dia.
Disamping itu, reformasi pembangunan pertanian stagnan karena terhambat oleh kecilnya alokasi dana APBN, kualitas aparat birokrasi pemerintahan daerah akibat otonomi daerah.
"Seringkali posisi kepala dinas digunakan sebagai bargaining position di pemilukada yang menyebabkan dipimpin orang yang tidak profesional, terjadinya penyimpangan program di lapangan karena moral hazzard, dan visi teknologis dan riset masih sangat lemah," kata Viva.