REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Fraksi Partai Hanura DPR RI mendesak 'Master Restructuring Agreement' atau MRA TPPI dibatalkan, karena adanya potensi kerugian negara triliunan rupiah setiap tahun.
Desakan itu disampaikan Erik Satrya Wardhana yang juga Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dalam pernyataan pers yang disampaikan di Jakarta, Rabu.Pernyataan disampaikan mengingat pada 12 April 2012, MRA tersebut akan berlaku efektif setelah ditunda selama satu bulan.
Dia mendesak Pemerintah membatalkan atau tidak menandatangani Risalah Rapat Koordinasi Pembahasan MRA PT Tuban Petrochemical Industries dan anak perusahaan (Grup Tuban Petro). Langkah pembatalan itu, dinilainya sebagai bentuk antsipasi dan mitigasi atas kerugian dan potensi-potensi kerugian negara lebih besar lainnya.
Disebutkan, saat ini jumlah utang Tuban Petro dan Grup Tuban Petro milik pengusaha Honggo Wendratno (HW) kepada pemerintah, baik melalui PT PPA, PT Pertamina maupun BP Migas, adalah sebesar Rp 9,8 triliun.
Dia mengatakan pula, secara prinsip upaya yang sudah dilakukan Pemerintah perlu diapresiasi."Yaitu memfasilitasi restrukturisasi utang PT Tuban Petrochemical Industries (Tuban Petro) dan anak perusahaan (Grup Tuban Petro), termasuk utang TPPI secara maksimal sebagai satu kesatuan kerangka penyelesaian kepada Pemerintah secara menyeluruh dan komprehensif," tuturnya.
Namun, menurutnya, upaya yang dilakukan sejak 2004 itu ternyata belum dapat memberikan solusi bagi penyelesaian utang tersebut. "Kegagalan upaya restrukturisasi utang TPPI hingga tahun 2010 lebih banyak disebabkan oleh kelalaian pihak TPPI, terutama pihak Grup Tuban Petro atau Grup HW," paparnya.
Dia menunjuk salah satu contohnya, yakni, keputusan Majelis Abritase pada 3 Mei 2011 yang menyatakan TPPI melakukan wanprestasi ('default') atas pemenuhan kewajibannya. Dikatakan, langkah restrukturisasi selanjutnya melalui MRA yang ditandatangani pada 28 Desember 2011.
"Tetapi hingga menjelang 'effective date' (75 hari setelah MRA ditandatangani) masih menyisakan beberapa poin yang belum disepakati antara PT Pertamina dan Grup Tuban Petro/HW itu," ungkapnya.
Ia menyebutkan juga beberapa poin yang menjadi isu krusial di antaranya. Pertama, menurutnya, perizinan ekspor LPG yang bertentangan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26/2009 Pasal 8 yang melarang ekspor LPG sebelum kebutuhan di dalam negeri terpenuhi.
Kemudian, kedua, harga jual mogas (RON 88) yang belum ada kesepakatan. Lalu ketiga, jangka waktu 'standstill'.
"MRA itu kemudian disempurnakan dalam Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian untuk mendapatkan keputusan terhadap beberapa poin yang belum disepakati, termasuk tiga poin di atas pada 12 Maret 2012 di Kementrian Koordinator Perekonomian," katanya.