Jumat 02 Dec 2011 09:34 WIB

Ini Alasan Pengusaha Sawit Malaysia Tidak Keluar dari RSPO

Rep: Ajeng Ritzki Pitakasari/ Red: Siwi Tri Puji B
Perkebunan Kelapa Sawit, ilustrasi
Perkebunan Kelapa Sawit, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA - Malaysia dan Indonesia dikenal sebagai duo produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Berdasar data Euro Asia Review, dua negara tersebut memasok 83 persen kebutuhan global dan menguasai 89 pasar dunia.

Namun soal kebijakan, dua tetangga ini tak selalu sama. Termasuk dalam memutuskan pergi dari Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO) atau tetap tinggal dalam lembaga pemangku kepentingan kelapa sawit terbesar di dunia itu. Saat indonesia memilih cabut, Malaysia tetap bergabung bersama RSPO.

Apa alasannya? "Kalau Indonesia sudah punya standar sendiri yakni ISPO, tetapi kalau Malaysia belum ada, lalu mau kemana? Ini sulit, jadi kami tetap tinggal," ujar Ketua Persatuan Minyak Sawit Malaysia, Dato' Mamat Saleh, Kamis (1/12) di sela Konferensi Minyak Sawit Indonesia ketujuh di Nusa Dua, Bali (30 November - 2 Desember).

"Tapi kami sekarang tengah membahas intensif untuk memiliki standar MSPO (Malaysia Sustainable Palm Oil)," imbuhnya. Namun, ia mengakui pembahasan sejauh ini belum menentukan target konkret, "Kita lihat bagaimana nanti," ujarnya.

Bila MSPO telah terwujud, ia mengatakan tak menutup kemungkinan Malaysia pun keluar dari RSPO, "Siapa tahu, tapi nanti kita akan melihat pula mana yang terbaik, mana yang paling sesuai dan mana pilihan pengusaha, apakah keluar atau stay." ujarnya.

Menyoal RSPO yang berbasis pada Konsumen terutama Eropa, Mamat Saleh tidak melihat itu sebagai masalah. Ia tak menanggap standar MPO memberatkan Malaysia sebagai produsen. "Mereka tidak cerewet yang berisik itu LSM," ujarnya.

"Sekarang mereka pasar riil kami. Mereka membeli 2,5 juta ton dari 5 juta ton produksi, lalu apa saya akan jual sisanya 2,5 juta ke LSM yang berisik itu," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement