REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Meski negara-negara Uni Eropa dan Amerika menekan perdagangan minyak sawit (crude palm oil) Indonesia dengan berbagai cara, tapi fakta tak bisa dielakkan. Kelapa sawit, dalam setiap hektare (ha) pertahunnya mampu menghasilkan biodiesel enam ribu liter, sedangkan kedelai hanya 440 liter.
Bahkan, penggunaan biodiesel sawit mampu mengurangi gas rumah kaca (GRK) hingga 62 persen dibandingkan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi. Penggunaan bahan bakar fosil, seperti pada kendaraan, pabrik, peralatan rumah tangga mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) 4.228 ton. Sedangkan biodiesel sawit hanya memproduksi 2.627 ton.
Jumlah karbon yang diikat dari udara oleh perkebunan sawit perha pertahunnya, ternyata tak jauh berbeda dengan jumlah hutan hujan tropis, yaitu 161 ton. Sedangkan hutan tropis 163,5 ton perha pertahun. Meskipun dari total biomassa, hutan tropis tentu lebih besar empat kali lipat dari sawit, yaitu 431 ton, sedangkan sawit (100 ton).
Angka tersebut merupakan hasil penelitian Van Zuthpen yang dirilis oleh Dewan Minyak Sawit Indonesia dalam Ekspo Inovasi Perkebunan di Balai Kartini Jakarta, 14 – 16 Oktober 2011 lalu. Hasil penelitian tersebut akan menjadi bahan negosiasi pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa terkait aturan ketat mereka mengenai peredaran minyak sawit Indonesia.
“Pemerintah Uni Eropa bahkan belum meneliti hal ini,” kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi kepada Republika di kantornya akhir pekan lalu. Capaian 62 persen ini, kata Bayu lebih besar dari syarat dan ketentuan Uni Eropa.
Pada 2010, Uni Eropa mengumumkan hanya mengakui dan menerima impor biodiesel yang bisa menghemat 35 persen GRK. Faktanya, angka yang dihasilkan Indonesia bahkan sudah melampaui target Uni Eropa 2025 sebesar 50 persen.
Pejabat yang dicalonkan sebagai Wakil Menteri Perdagangan dalam reshuffle Presiden SBY ini mengatakan, yang namanya penelitian tak ada yang sempurna. Namun, setidaknya jika Uni Eropa tetap berkeberatan, semestinya melakukan penelitian bersama. “Jangan semena-mena menolak biodiesel sawit sepihak,” ujar Bayu.
Dalam Uni Eropa sendiri, kata Bayu, masih ada perdebatan. Jerman dan sebagian negara Eropa Utara ingin lebih longgar dalam menerima kehadiran CPO Indonesia sebagai biodiesel di benua tersebut. Tapi, Prancis dan sebagian besar negara Eropa Barat tetap bersikeras menolak dan mengatur ketat.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia, kata Bayu sudah sepakat membawa fakta-fakta itu ke forum World Trade Organization (WTO) untuk peninjauan kembali. Hal itu karena isu-isu negatif yang berkembang tentang CPO berimplikasi terhadap perdagangan komoditas Indonesia.