REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Anggota Komisi V Abdul Hakim menilai pemerintah telah mengambil kebijakan yang salah karena menaikan tarif tol di 12 ruas pada akhir pekan lalu tanpa melakukan evaluasi terhadap standar pelayanan minimum (SPM).
"Saya menyayangkan langkah pemerintah yang menaikan tarif tol. Dengan pemberlakuan kenaikan tarif yang hanya mengacu pada kenaikan inflasi,"katanya di Jakarta, Kamis.
Harusnya kata dia, pemerintah melakukan evaluasi terhadap standar pelayanan minimum seperti sekarang, jelas pemerintah telah gegabah mengambil kebijakan karena kenaikan tarif tidak memberikan rasa keadilan pada konsumen.
Menurut Hakim, berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, yaitu Pasal 48 ayat (3) kenaikan tariff tol memang dapat dilakukan setiap dua tahun. Namun, kata Hakim, hal itu tidak hanya didasarkan pada laju inflasi, tapi juga dari hasil evaluasi atas pemenuhan SPM dan sebagainya.
"Evaluasi mengacu pada terpenuhi atau tidaknya Standar Pelayanan Minimal (SPM) jalan tol seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005. Ini antrean di gerbang tol saja masih panjang bahkan ada jalan tol yang berlubang, kok tarif dinaikan," ujar Hakim yang juga sekretaris Fraksi PKS DPR RI.
Hakim menegaskan selama ini Kementerian Pekerjaan Umum (PU) tidak pernah melaporkan hasil evaluasi SPM jalan tol kepada DPR. Padahal, baik-buruknya penyediaan infrastruktur jalan tol serta aspek pelayanan di jalan tol yang meliputi efisiensi operasional jalan tol, laju lalu lintas di dalam tol, panjang antrean kendaraan di gerbang tol harus menjadi acuan dalam penetapan tarif.
Namun, faktanya di Indonesia antrean panjang kendaraan digerbang tol dan kemacetan di jalan tol masih menjadi pemandangan lumrah setiap hari.