Selasa 24 May 2011 14:58 WIB

Menkeu Tetap 'Ngotot' Mau Teken Uang Kertas

Menteri Keuangan Agus Martowardoyo
Menteri Keuangan Agus Martowardoyo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Keuangan Agus Martowardojo bersikeras Pemerintah harus menandatangani uang kertas mulai Agustus 2014 meski Bank Indonesia telah mengingatkan adanya konsekuensi hukum atas keinginan tersebut. "Soal tandatangan Pemerintah, itu sudah disepakati Pemerintah dan DPR dan itu akan berlaku mulai Agustus 2014 dan hadirnya tandatangan pemerintah menunjukkan bahwa uang itu uang sah di Republik Indonesia," kata Menkeu usai pertemuan dengan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution di Gedung BI Jakarta, Selasa (24/5).

Menurutnya, jika uang dengan tandatangan Pemerintah itu beredar maka Pemerintah akan menanggung segala konsekuensinya dengan Bank Indonesia. "Itu merupakan satu kredibilitas, satu komitmen bagi Pemerintah untuk menanggung konsekuensi uang itu, tetapi kalau sharing tentang biaya itu telah ditetapkan, itu beban dari BI," katanya.

Agus juga membantah kalau BI tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU Mata Uang karena selama ini selalu diinformasikan. "Secara umum sudah kita koordinasikan dengan BI dan kita semua sepakat. Dan BI kita ajak bicara kok," katanya.

Menurut Agus, pembahasan RUU Mata Uang akan masuk pandangan mini fraksi pada Selasa malam ini di Komisi XI dan jika disetujui akan segera dibawa ke rapat paripurna DPR RI untuk disahkan. Sebelumnya Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Budi Rochadi mengingatkan adanya konsekuensi hukum apabila Menteri Keuangan ikut menandatangani uang rupiah baru yang berdasarkan draf RUU Mata Uang akan mulai beredar pada 2014 mendatang.

"Penerbitan uang itu kewajiban moneter dari Bank Indonesia, begitu tanda tangan dia (Kemenkeu) kena kewajiban moneter, jadi kalau ini dilakukan harus sadar ada pengakuan utang," katanya.

Ia menjelaskan bahwa keinginan Menteri Keuangan untuk membubuhkan tandatangan pada uang rupiah merupakan bentuk intervensi otoritas fiskal pada otoritas moneter serta bertentangan dengan pasal 23 UUD 1945. "Ini bisa menimbulkan konsekuensi hukum, karena ini bukan sekedar tanda tangan biasa.

Begitu Menteri Keuangan menandatangani ada konsekuensi pengakuan utang dan mengakibatkan ketidakpastian di kalangan masyarakat," ujarnya.

Selain itu, Budi menambahkan bahwa biaya yang dikeluarkan akibat percetakan uang baru sangat mahal dan pemerintah harus ikut menanggung beban pembiayaan tersebut. "Ongkosnya cukup mahal, biaya pengedaran uang keseluruhan adalah pengeluaran terbesar kedua di BI dan biaya percetakan uang kira-kira dua per tiga total biaya pengedaran uang," ujarnya.

Budi sangat menyayangkan BI tidak dilibatkan dalam proses penyusunan draf RUU Mata Uang, padahal menurut rencana RUU ini akan dibahas pada rapat paripurna DPR pada Rabu (25/5).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement