REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH - Arab Saudi dan Inggris berjanji untuk menstabilkan pasar minyak setelah harga minyak mencapai harga tertinggi di Inggris. Kenaikan itu meningkatkan tekanan pada konsumen minyak global.
Janji untuk mengawasi harga dan memastikan pemahaman yang lebih besar antara konsumen dan produsen dibuat menyusul pembicaraan antara Menteri Sumber Daya Minyak dan Mineral Ali Al-Naimi dan Menteri Energi dan Perubahan Iklim Inggris Chris Huhne di Riyadh, Selasa (5/4).
"Al-Naimi dan saya berbagi pandangan bahwa tidak ada kekurangan pasokan dan karenanya tidak ada alasan di balik melambungnya harga minyak, yang hari ini mencapai US $ 115 sampai US $ 120 per barel," kata Huhne, dalam jumpa pers yang juga dihadiri Duta Besar Inggris Sir Tom Phillips.
Huhne mengesampingkan kemungkinan bahwa hubungan yang tegang antara Kerjasama Teluk (GCC) dan Iran, yang kian memburuk dalam beberapa pekan terakhir, akan memengaruhi pasar minyak. "GCC dan Teheran tidak memiliki hubungan persaudaraan bahkan di masa lalu," ujarnya seraya menyerukan pasar energi internasional untuk mengakui bahwa tingginya harga minyak tidak mencerminkan realitas penawaran dan permintaan di pasar.
Huhne terbang ke Riyadh dalam misi ganda untuk mengatasi naiknya harga minyak dan mendiskusikan bagaimana perusahaan-perusahaan Inggris dapat membantu Saudi dalam mengembangkan basis energi terbarukan tersebut.
Ditanya apakah kemelut politik di kawasan dan di Libya yang dilanda perang dapat menyebabkan kenaikan harga, Huhne mengatakan setiap orang harus berbuat lebih banyak untuk menghentikan naiknya harga minyak. “Arab Saudi telah meningkatkan produksi minyak, tapi OPEC sebagai sebuah kelompok belum melakukan perubahan.”