REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Meski Bank Indonesia (BI) telah menetapkan batasan, rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) minimum 78 persen mulai 1 Maret kemarin. Namun Bank Negara Indonesia (BNI) belum tentu mengikuti aturan tersebut. BNI bahkan lebih memilih membayar denda jika pemenuhan LDR tersebut dianggap tidak memenuhi prinsip kehati-hatian.
"Ini sudah kita perhitungkan kalau pun pinalti revenue (pendapatan) kita masih cukup," ujar Direktur Utama BNI Gatot M Suwondo, Rabu (16/3).
Sepanjang 2010, BNI mencatat LDR 70,2 persen atau meningkat dibandingkan dengan 2009 yang hanya 64,1 persen. Walaupun meningkat, namun angka ini masih dibawah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yakni 78 persen.
Menurut Gatot penyesuain antara kebijakan LDR dan ketentuan Giro Wajib Minimun (GWM) yang dibuat oleh Bank Indonesia masih akan terus dipelajari. Memang disatu sisi kebijakan tersebut baik sebagai fungsi intermediasi Bank.
Namun perlu diingat risiko kredit macet (Non Permorming Loan/NPL) yang cost-nya cukup tinggi. Lebih lanjut Gatot menerangkan, Bank Pemerintah berbeda dengan swasta. Selain sebagai intermediasi, Bank pelat merah juga harus berfungsi sebagai agen pembangunan. "Oleh karena itu, jika kebijakan ini diterapkan kami meminta adanya kelonggaran," terang dia.
Salah satu kelonggaran itu, sebut Gatot, yakni utang yang disalurkan BNI kepada pemerintah (government Bond) dimasukan dalam hitungan LDR. "Jadi ini ada suatu keringanan," terangnya.