REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah didesak mengeluarkan beragam kebijakan yang sifatnya dapat mengintervensi terkait pengaturan gas domestik serta memiliki rencana yang konkret dalam pengembangan lapangan gas di Indonesia. "Perlu intervensi nyata dari pemerintah, khususnya Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dalam penentuan dan pengaturan pengembangan gas domestik," kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, dalam diskusi 'Pasokan Gas, antara Harga dan Kebutuhan' yang digelar di Jakarta, Kamis (17/2).
Menurut Pri, harus ada langkah sinergi dan koordinasi antara KESDM dan berbagai instansi terkait dalam merombak struktur pasar dan harga domestik yang lebih 'sehat'. Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga diminta tegas dalam mengarahkan serta mensinergikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Migas agar tidak berjalan sendiri-sendiri. "BUMN harus rela menjadi bagian dari solusi dan pemerintah harus lebih kreatif untuk merealisasikan itu," tegas Pri Agung.
Ia berpendapat, kekreatifan pemerintah dapat dilakukan dengan cara menjembatani atau tidak kaku dalam mengutamakan deviden dan laba sebagai ukuran utama bagi BUMN. Hal tersebut, ujar dia, karena keberlangsungan berbagai industri yang membutuhkan pasokan gas domestik merupakan suatu aspek yang benar-benar harus dapat dipertimbangkan.
Pri juga mendesak agar pemerintah perlu memiliki rencana pengembangan berbagai lapangan gas ('proven reserves') yang ada dengan rencana pengembangan infrastruktur pengembangan gas yang lebih konkret. "Tidak hanya sekadar kompilasi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan BUMN yang cenderung masih berjalan sendiri-sendiri," katanya.
Sementara pembicara lainnya, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Achmad Wijaya mengatakan, kalangan industri kerap melihat pemerintah tidak memiliki rencana yang berkesinambungan untuk periode tertentu ke depan. Menurut Achmad Wijaya, berbagai kalangan dan instansi biasanya membuat 'road map' sendiri-sendiri yang tidak terintegrasi secara menyeluruh.
"Dulu kita memiliki Repelita (rencana pembangunan lima tahun), tetapi sekarang kalangan industri cenderung berjalan sendiri-sendiri tanpa ada rencana," katanya.
Untuk itu, ia menginginkan agar pemerintah lebih memperhatikan kalangan industri mikro yang terdapat di Indonesia dan tidak hanya lebih berat memperhatikan sektor perekonomian makro.