REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah berencana melakukan impor beras guna mengamankan stok beras nasional. Produksi padi yang berlimpah tahun ini tidak sebanding dengan kemampuan penyerapan beras oleh Bulog.
Harga gabah petani yang di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP), membuat Bulog tak berkutik melakukan pengadaan beras. Pengamat Pangan dari Intitut Pertanian Bogor (IPB), Dahrul Syah, mengatakan, keputusan membuka keran impor beras sebenarnya bertujuan untuk meredam kondisi psikologis masyarakat terhadap ketersediaan pangan.
Bila dilihat dari aspek produksi, Dahrul melanjutkan, ketersediaan beras di dalam negeri sebenarnya relatif berlimpah dan aman untuk memasok kebutuhan masyarakat. Bahkan Angka Ramalan II Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan akhir tahun ini akan ada surplus beras mencapai 5,6 juta ton.
Namun demikian, komoditas beras di Indonesia sangat berbeda dengan beras di luar negeri. Di Indonesia, beras terlanjur menjadi komoditas dengan tingkat resistensi politik yang tinggi. ''Sehingga sangat sensitif, begitu masyarakat mengira ada kekurangan, langsung harganya tidak stabil dan kondisi politik ekonomi pun langsung terpengaruh,'' kata Dahrul kepada Republika, Rabu (22/9).
Menurut Dahrul, fenomena yang terjadi saat ini adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap data yang dimiliki pemerintah. Walaupun Aram II BPS menyebutkan bakal terjadi surplus, tapi faktanya harga beras masih melambung tinggi. Ditambah lagi ketidakmampuan Bulog menyerap beras petani terlanjur dianggap sebagai gejala langkanya beras di tingkat produksi.
''Masyarakat jadi ragu sebenarnya ada tidak beras kita, karena itu pemerintah bilang akan impor beras, ini langkah tepat untuk menentramkan masyarakat,'' ucap Dahrul.
Dikatakan, sejatinya impor beras yang hanya bertujuan untuk menentramkan keraguan masyarakat harus tetap dikritisi sebagai kebijakan yang tentatif. Ke depan, pemerintah hendaknya mempunyai grand strtategy yang permanen untuk menjawab tantangan-tangan kondisi pangan atau perberasan seperti saat ini.