REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah diminta untuk tidak sekadar memanfaatkan momentum pasar dan membaiknya rating kredit Indonesia dalam mencari pembiayaan defisit melalui utang. Penerbitan surat utang atau pinjaman langsung dari kreditur asing harus melihat kemampuan penyerapan anggaran dan manfaatnya bagi pembangunan.
Ekonom Cides, Umar Juoro, menilai belum masuknya Indonesia ke level investment grade memang menyebabkan bunga yang diberikan dalam penjualan Surat Utang Negara akan relatif tinggi dibanding beberapa negara lainnya. ''Tapi Nanti kalau lembaga rating memasukan ke investment grade bunga kita akan jauh lebih murah, dan sekarang memang trennya menurun,'' ujarnya ketika dihubungi Republika, Jumat (13/8).
Sebelumnya Lembaga pemeringkat kredit Jepang, Japan Credit Rating Agency (JCR), menaikkan peringkat kredit Indonesia ke level investment grade. Sementara berdasarkan S&P 2010 nilai rating indonesia berada pada BB, Fitch memeringkat indonesia pada nilai BB+, sedangkan Mood's memeringkat Ba2.
Namun Umar menilai, penerbitan obligasi bukan sekadar pada membaiknya kondisi pasar. Tapi bagaimana melihat kebutuhan dari pembiyaan dan pemanfaatannya bagi
pembangunan.
Saat ini, lanjut Umar, penyerapan anggaran belanja pemerintah masih sangat rendah yakni baru dikisaran 30 persen. ''Tidak hanya melihat pada pasar, tapi bagaimana pemanfaatan dari utang tersebut, efektif ataukah tidak,'' ujarnya mengingatkan.
Apalagi, lanjut dia, kreditur asing pada umumnya meminta commitment fee atas utang yang disalurkan. ''Sayang kalau tidak dipakai tapi kita tetap harus membayar bunganya,'' kata dia.