Kamis 26 Nov 2020 15:56 WIB

Survei: 91 Persen Karyawan Dirumahkan tak Ikut Prakerja

Survei IDEAS menyebutkan pelatihan di BLK jauh lebih baik dari Program Prakerja

 Peneliti Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Ahsin Aligory mengatakan berdasarkan hasil survey yang dilakukan lembaganya terdapat temuan yang menarik yaitu 91 persen pekerja yang dirumahkan tidak mendaftar Program Kartu Prakerja.
Foto: IDEAS
Peneliti Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Ahsin Aligory mengatakan berdasarkan hasil survey yang dilakukan lembaganya terdapat temuan yang menarik yaitu 91 persen pekerja yang dirumahkan tidak mendaftar Program Kartu Prakerja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Ahsin Aligory mengatakan berdasarkan hasil survey yang dilakukan lembaganya terdapat temuan yang menarik yaitu 91 persen pekerja yang dirumahkan tidak mendaftar Program Kartu Prakerja. 

Survey mengenai Program Kartu Prakerja tersebut dilakukan pada pada bulan Juni hingga Agustus 2020 dengan 346 responden berstatus karyawan dan wirausahawan, usia angkatan kerja yang tersebar di 12 provinsi, terutama DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.

“Jika melihat responden survei ini yang dirumahkan sangat sedikit sekali mengikuti Kartu Prakerja. Padahal salah satu target Prakerja yaitu menyelamatkan mereka yang terkena PHK. Ini salah satu temuan kita bahwa peserta yang dirumahkan banyak yang belum mengikuti program Prakerja,” kata Ahsin, di Jakarta Kamis (26/11).

Sebagian besar responden yang mengikuti Program Kartu Prakerja merupakan karyawan atau 59 persen dari total keseluruhan responden. Sementara sisanya 41 persen adalah wirausaha.

Responden karyawan yang mengikuti program kartu prakerja menyatakan bahwa program kartu prakerja sangat berbeda dengan program pelatihan yang pernah mereka dapatkan sebelumnya. “Pelatihan yang mereka ikuti sebelumnya umumnya memiliki 3 tingkatan kualifikasi, yaitu training saat mencari kerja, magang sebagai sarana mengenal dunia kerja dan sertifikasi saat setelah bekerja untuk meningkatkan kompetensi professional,” tutur Ahsin. 

Ahsin menambahkan bahwa topik pelatihan yang ditawarkan terbilang sangat dasar dan bisa didapatkan secara cuma-cuma di dunia maya seperti pelatihan bahasa Inggris dasar, administrasi dan sekretaris, teknik menjual apapun, sukses bisnis online shop, menjadi content creator di youtube, menjadi barista dan membuka warung kopi, hingga teknik melamar pekerjaan dan teknik wawancara kerja.

“Hal tersebut jauh berbeda dengan kurikulum Balai Latihan Kerja (BLK) yang memiliki desain pelatihan berbasis kompetensi. Bahkan BLK kini telah berspesialisasi pada jenis ketrampilan kerja yang spesifik,” ungkap Ahsin.  

Ia mencontohkan beberapa BLK yang memiliki spesialisasi keterampilan kerja yang spesifik seperti, Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja (BBPLK) Bekasi yang berfokus sebagai pusat kejuruan elektronika dan teknologi informasi, BBPLK Medan sebagai pusat kejuruan pariwisata, dan BBPLK Semarang sebagai pusat kejuruan fashion/garmen.

Berdasarkan data yang dihimpun IDEAS, Sepanjang 2017-2019 pemerintah telah mendirikan 1.113 BLK Komunitas di lembaga pendidikan keagamaan di seluruh Indonesia, dengan kurikulum pelatihan teknik otomotif, las, pengolahan hasil pertanian, pengolahan hasil perikanan, perkayuan, teknologi informasi dan komunikasi, menjahit, teknik listrik dan pendinginan, serta industri kreatif dan bahasa. 

“Dengan desain Kartu Prakerja, anggaran Rp 5,6 triliun untuk biaya pelatihan daring hanya akan mengalir ke 8 platform digital. Bila dialihkan untuk ekspansi pembangunan BLK Komunitas baru, anggaran Rp 5,6 triliun ini akan mengalir ke setidaknya 5.600 Pondok Pesantren, Seminari, Dhammasekha, dan Pasraman di seluruh pelosok tanah air,” tutur Ahsin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement