REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan jumlah nelayan di Indonesia sebanyak 2.773.538 jiwa (data KKP 2024), namun data itu belum memisahkan antara nelayan industri dengan nelayan skala kecil atau tradisional.
Berdasarkan UU nomor 7 Tahun 2016, jumlah kapal nelayan kecil di Indonesia pada 2023 sebanyak 775.449 unit kapal atau sekitar 92,7 persen dari total keseluruhan 836.733 kapal di Indonesia. "Sehingga dalam konteks nelayan, nelayan skala kecil lah yang mendominasi jumlah nelayan di Indonesia," ujar Susan kepada Republika.
Susan mengatakan kondisi laut yang sehat dan bisa diakses (tidak diprivatisasi) berperan penting sebagai sumber pangan strategis yang menghidupi nelayan kecil. Dengan begitu, nelayan kecil dapat memenuhi kebutuhan pangan, khususnya protein hewani yang dibutuhkan bangsa ini.
"Nelayan kecil sangat bergantung kepada laut yang sehat dan bisa diakses untuk dapat memastikan ketahanan pangan dari sektor perikanan tangkap laut, yang pada ujungnya dapat menciptakan kedaulatan pangan perikanan laut," sambung Susan.

Susan menilai kebijakan pemerintah terkait pengelolaan sumber daya laut masih belum berpihak kepada nelayan kecil dan perlindungan ekologi pesisir dan laut yang tentu saja berimplikasi terhadap ketahanan pangan perikanan. Menurut Susan, kebijakan dan peraturan yang ditetapkan pemerintah kontradiktif dengan wacana yang dibangun oleh pemerintah dalam konteks berpihak terhadap nelayan, ekologi sebagai panglima, dan menciptakan ketahanan pangan.
"Bagaimana bisa tercipta ketahanan pangan jika terdapat 33 PSN yang beririsan dengan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Selain itu, tidak adanya upaya serius dan konkret yang dilakukan pemerintah mengatasi krisis iklim yang tengah terjadi di Indonesia," kata Susan.
Susan mencontohkan ironi yang terjadi di wilayah pulau-pulau kecil yang sulit terisolasi, seperti Pulau Masalembu, di mana melimpahnya hasil tangkapan nelayan berbanding terbalik dengan serapan hasil tangkapan tersebut. Susan menyebut tidak terdapat fasilitas seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan SPBU/SPBN sehingga hasil tangkapan ikan nelayan kecil sering tidak ada yang membeli dan akhirnya dibuang, menyebabkan kerugian besar bagi nelayan kecil.
“Harga Acuan Ikan sebagaimana tertera dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 29 Tahun 2024 juga tidak ada implementasinya di lapangan karena tidak adanya infrastruktur dan fasilitas yang disiapkan oleh pemerintah untuk menyerap hasil tangkapan ikan nelayan,” ungkap Susan.
Selain itu, ujar Susan, pemerintah harus menjalankan prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) atau persetujuan di awal tanpa paksaan dan berdasarkan informasi bagi masyarakat pesisir, serta prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam konteks pembangunan yang akan dilakukan. Dengan demikian, masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil dan tradisional, akan berdaulat dalam mengelola dan memanfaatkan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil sebagaimana diamanatkan dalam Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010.
“Lindungi dan akui profesi nelayan. Lestarikan ekosistem laut, hentikan ekspansi industri, dan laut untuk nelayan!” tegasnya.