REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaksanakan rapat kerja perdana bersama Komisi XI DPR RI dengan jabatan barunya sebagai bendahara negara.
“Ini kunjungan pertama saya sebagai Menteri Keuangan, biasanya sebagai LPS (Lembaga Penjamin Simpanan),” kata Purbaya dalam rapat di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (10/9). Berikut petikan pidato menkeu:
Terima kasih Pak Ketua. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jadi tadi saya gak mau jadi koboy, sekarang saya dipakai jadi koboy lagi. Tapi nanti begini, kalau ada kesalahan saya mohon maaf sebelumnya. Gak selip, tapi betul.
Tapi gini, mungkin beberapa kalangan akan tersinggung dan saya minta maaf kalau ada yang tersinggung. Tapi ini untuk melangkah untuk memperbaiki ekonomi kita seperti apa? Jadi saya juga tadi berpikir kok saya baca pidato aja ini.
Saya baca, dia baca, dia baca, dia baca. Ini perlembaran membaca kelihatannya. Mungkin salah, saya di bawah rankingnya.
Tapi kalau emang ditanya program apa yang saya akan buat? Kenapa Pak Presiden Prabowo mau menunjuk saya? Apa dia salah tunjuk? Mungkin enggak.
Jadi begini, saya di ekonomi sudah cukup lama. Tahun 2000 jadi ekonom. Pulang sekolah, langsung kerja di financial sector. Kemudian 2002 langsung membantu tim, think tanknya Pak SP di Brighton Institute.
Sering memberi masukan, 2010 staff khususnya Pak Hatta Rajasa. 2015 masuk ke Kantor Staf Kepresidenan membantu Pak Luhut B Pandjaitan dan memberi masukan ke Pak Jokowi juga ketika sedang susah. Jadi, bagaimana manage ekonomi itu bukan barang baru untuk saya.
Ini jangan bilang sombong ya, tapi kan Anda mesti tahu saya harus meyakinkan Bapak-Bapak. Jadi saya berangkat belajar sebelum krisis 1995. Tujuannya, saya pikir oke, mungkin saya bisa membangun, bantu ekonomi.
Tapi sebelum sekolah selesai,1998, krisis. Pulang. Negara sudah berantakan pada waktu itu ya. Tahu 2000 pertumbuhan mendekati 0 persen, 2001 rendahkan. Habis itu kita bantu ke sana dan waktu itu Pak SP bisa meningkatkan pertumbuhan sampai mendekati 6 persen.
Terus diganti Pak Jokowi, Pak Jokowi pertumbuhannya sedikit di bawah 5 persen on average. Jadi saya pelajarin dari krisis 1998 salah kita di mana? Kenapa ketika 1997-1998 negara yang mulai diserang adalah Thailand, Korea dan lain-lain kenapa yang paling terpuruk kita?
Jadi saya belajar betul apa yang terjadi waktu itu dan bagaimana cara mengatasi krisis kalau terjadi lagi. Jadi ini boleh teori sedikit ya, izin.
Oke. Di buku moneter itu ada pemenang-pemenang Nobel yang bilang bahwa dia mempelajari krisis tahun 1930 di Amerika. Dia bilang waktu itu krisis mereka debat bunga nol, kok masih krisis?
Rupanya pada waktu itu walaupun suku bunga rendah, nol, tapi uang, vitamin yang di sistem perekonomian itu negatif. Jadi ekonominya dicekek. Itu sebetulnya yang melandasi teori utama kebijakan moneter.
Jadi, kalau Anda mau lihat kebijakan moneter tetap longgar jangan hanya dilihat dari suku bunga. Dia bilang begitu, lihat laju pertumbuhan uang prime, base money. Jadi dampak kebijakan moneter amat signifikan di perekonomian.
Tahun 1997, 1998, 1997 kita melakukan kesalahan yang fatal. Pada waktu itu BI menaikkan bunga sampai 60% lebih karena untuk menjaga rupiah. Semua berpikir kita melakukan kebijakan uang ketat.
Wah bunga tinggi. Bunga tinggi perasaan mana ada yang pinjem. Tapi kalau kita lihat di belakangnya apa yang terjadi?
Kita mencetak uang, base money itu tumbuhnya 100 persen. Jadi kebijakannya kacau balau. Mau apa?
Mau ketat atau mau longgar? Kalau kita melakukan kebijakan kacau, yang keluar adalah setan-setannya dari kebijakan itu. Bunga yang tinggi menghancurkan real sector.
Uang yang banyak dipakai untuk menyerang nilai tukar rupiah kita. Jadi kita membayai kehancuran ekonomi kita pada waktu itu, tanpa sadar. Ini bukan karena yang dulu ekonomi bodoh atau bagaimana. Tapi memang kita belum pernah mengalami keadaan seperti itu. Jadi kita belum tahu nyata seperti apa. Dan saya simpulkan kesalahan kita di situ.
Jadi pada waktu 2008 ada global financial meltdown. Kebijakan kita, kita ubah. Saya bisik-bisik sedikit ke think tank-nya SBY
Waktu itu mau jatuh, ekonominya ekspansif sekali di tahun 2009. Dan suku bunga diturunkan di bulan Desember 2008 ketika rupiah sedang melemah. Jadi hitungan saya adalah gini:
Kalau kita menjaga nilai tukar dan lain-lain, ciptakan pertumbuhan ekonomi. Kalau mau ciptakan pertumbuhan ekonomi, jaga kondisi likuiditas di sistem perekonomian. Itu yang terjadi.
Saya pikir dengan edukasi tahun 2008-2009 itu, semua orang sudah mengerti, kan banyak ekonom yang melihat. Rupanya, lupa terus kita. Kita cepat lupa makanya risiko sebesar ekonomi naik, ekonomi turun.
Ekonomi naik, ekonomi turun, sepertinya setiap 7 tahun kita lupa. Untung saya masih ingat sedikit-sedikit. 2015 ketika Pak Jokowi ngambil pemerintahan, kondinya sama.
Kebijakan sedang ketat. Saya pindah ke KSP untuk memberi masukan langsung pada waktu itu supaya kebijakannya dirubah. Dan itu kebijakannya dirubah dan kita selamat.
Itu jadi pembalikan ekonomi Indonesia bukan terjadi otomatis. Semua karena intervensi kebijakan. Kebetulan Pak Jokowi cukup cepat mengambil langkah.
2020-2021 sama. Pada waktu COVID-19, semua nyalahin COVID-19 akan menghancurkan ekonomi Indonesia katanya, bank-bank mulai hampir berguguran. Saya waktu sedang di Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi. Asyik mancing lah.
Saya pikir, ngapain mikirin ekonomi lagi, sudah pada jago di perekonomian kan. Tapi setelah kita lihat, base money pertumbuhannya berapa di situ? Di bulan Maret 2000, pertumbuhannya minus 15,3 persen. Minus artinya ekonomi sedang dicekek padahal bunganya diturunkan. Ini salah kebijakan kita lagi. Jadi ekonominya turun, hampir hancur.
Saya dipanggil ke istana.
Gimana? Ya sudah Pak, dibalikin lagi saja.
Gimana caranya?
Ya sudah, BI suruh kurangin penyerapanannya ke sistem.
Terus apa lagi?
Tambah uang ke sistem dari sisi fiskal juga Pak.
Gimana caranya?
Bapak punya uang kebanyakan di bank sentral, waktu itu ada 500 triliun, 529 triliun, balikin ke sistem. Di bulan Maret 2021, May 2021, dipindahkan uang sebesar 300 triliun dari BI ke sistem perbankan.
Laju pertumbuhan uang naik lagi dari minus ke double digit 11, terus dijaga oleh bank sentral juga di atas 20 persen. Itu yang menyelamatkan ekonomi kita. Nah, saya pikir juga dengan pelajaran sepanjang itu kan, ya sudah jago semua lah, ya sudah kita santai saja.
Gara-gara itu saya tidak bantu sektor finansial pada waktu itu, saya dilempar ke LPS dengan tugas jaga stabilitas di sana. Saya memang bisa jaga stabilitas. Kita selalu propertumbuhannya.
Jadi ketika bank sentral naikin (BI Rate), LPS naiknya lambat sekali untuk menjaga supaya ekonominya tidak tumbuh terlalu lambat. Tapi kan instrumennya saya bilang tadi, bunga hanya salah satu. Uangnya seperti apa?
Nah, rupanya sejak 2023, bulan pertengahan itu, uang diserap secara bertahap terus ke bawah sampai pertumbuhannya nol menjelang second half 2024. Jadi itu yang Anda rasakan di ekonomi, melambat dengan sektor finansial. Real sector susah, semuanya susah.
Maksudnya keluar tagline-tagline Indonesia apa? Gelap, Indonesia apa? Kita semua menunjuk ke ini gara-gara global.
Padahal ada kebijakan dalam negeri yang salah juga, yang utamanya mengganggu kita. Karena 90 persen pada ekonomi yang kita didrive oleh domestic demand. Masuki 2025, Januari, Februari, Maret, April, membaik semuanya tiba-tiba, saya pikir, sudah insaf nih.
Pertumbuhan uang sempat mencapai 7 persen di bulan April 2025. Makanya ketika saya rasakan di bulan April, saya bilang kita sudah keluar dari krisis, Indonesia akan cerah. Yang saya nggak tahu, Mei jatuh lagi, Juni jatuh, Juli jatuh, Agustus jatuh, ke 0 persen.
Jadi periode perlambatan ekonomi yang sempat, 2024 gara-gara uang kita tadi, dipulihkan sedikit, belum pulihpenuh, direm lagi ekonominya. Itu dari sisi fiskal dan moneter.
Pemerintah, karena terlambat, membelanjakan anggaran, ya membelanjakan APBN ya, uangnya kan dari bank sentral. Rajin beliau, rajin narik pajak. Nggak apa-apa, masuk ke bank sentral.
Kalau dibelanjain lagi, nggak apa-apa. Tapi ini kan nggak, di sana santai-santai, kering sistemnya. Bank sentral kita juga, sama katanya, saya nanti kan penguasa ya, katanya di Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) boleh, menggait sedikit kan ya, jadi saya berani ngomong sedikit sekarang.
Dulu saya nggak berani karena saya di LPS.Wewenang saya nggak sampai sana. Jadi, dua sisi, mengetatkan kebijakan kita. Bank, naruh uangnya di bank.
Padahal uang kita banyak, BI menyerap sampai Rp 800 triliun, pemerintah pada satu titik sampai Rp 500 triliun, dengan terlebih di bank sentral, sistem kekeringan.
Yang bapak-bapak rasakan adalah, yang kemarin demo itu, itu karena tekanan berkempanjangan di ekonomi. Karena kesalahan kebijakan fiskal dan monetaris sendiri, yang sebetulnya kita kuasain. Yang jadi pertanyaan saya kan, di sini Komis 11, rapatnya dengan Menteri Keuangan, berapa ratus hari dalam setahun.
Kenapa tidak pernah mempertanyakan itu? Dan sekarang saya datang ke sini tiba-tiba, oh sudah semuanya, pertanyaan banyak sekali, yang harusnya sudah putus pada waktu itu. Tapi tidak apa-apa.
Jadi ke depan, yang saya lakukan adalah memperbaiki itu. Sebelum mengubah yang lain-lain, struktural lain kita bisa ubah, tapi quick pin-nya di situ. Saya akan balik, kondisi yang memburuk karena langkah kita sendiri.
Oh gimana? Ya paling bagus kan percepat belanjaan kan, oke belanjainnya cepat-cepat. Tapi yang kita tahu, itu tidak semudah membalik tangan.
Saya pernah ditanya Pak Jokowi, dulu waktu saya di sana, "Pak balikin uangnya ke sistem."
"Loh apa bedanya? Kan tidak bisa belanja juga."
"Pak, kalau uang nya ditaruh di BI, satu tidak bangun ekonominya, yang kedua sistem kering, tidak bisa bangun juga."
Jadi kalau balikin ke sistem perekonomian, ke bank, Himbara misalnya, loh sahabat-sahabat tinggal satu, yaitu satu yang tidak bangun saja, tapi ekonominya bisa jalan. Kalau itu yang dimanfaatkan adalah real sector.
Saya ingin tunjukkan lagi ya, kenapa zaman Pak SBY tumbuh 6 persen, zaman Jokowi rata-rata 5 persen apa di bawah, Pak SBY sama Pak Jokowi.
Kalau Anda lihat di pertumbuhan uang M0-nya, base money, teori dasar moneter itu, di zaman Pak SBY rata-rata tumbuh 17persen lebih. Akibatnya uang di sistem cukup, kredit tumbuh berapa? 22 persen.
Jadi pada waktu zaman Pak SBY, walaupun dia tidak bangun infrastruktur habis-habisan, private sector yang hidup, yang menjalankan ekonominya, itu berhubungan juga dengan rasio tax. Ketika tax private sector yang jalan, dia akan lebih banyak bayar pajak daripada pemerintah. Tax rasio kita tumbuh 0,5 persen lebih tinggi dibanding ketika zaman Pak Jokowi.
Pada zaman Pak Jokowi, uang tumbuh hanya sekitar 7 persen M0-nya. Bahkan sepanjang tahun, dua tahun terakhir sebelum krisis, itu tumbuhnya 0 persen. Memang ekonominya sedang dicekek.
Cuma saya tidak tahu waktu itu, karena saya di maritim. Di 2020 saya diminta bantuan, saya kaget. "Pak, kenapa begini Pak? Bapak bangun apa-apa pun tidak bisa. Karena mesin ekonomi kita pincang. Hanya pemerintah yang jalan, sedangkan yang 90 persen berhenti atau diperlambat.
Zaman Pak Prabowo juga bisa sama. Ini sekarang masih baru. Kalau pemerintahnya masih lambat belanjanya dan mencekik perekonomian juga dari sisi lain, dan moneternya juga sama, maka akan lebih buruk dibanding yang dua jaman sebelumnya.
Dua mesin mati. Jadi tugas saya di sini adalah menghidupkan kedua mesin tadi, mesin moneter dan mesin fiskal. Nanti saya mohon restu dari Parlemen untuk saya menjalankan tugas itu.
Langkah pertama sudah kami jalankan. Saya sudah lapor ke Presiden.
"Pak saya akan taruh uang ke sistem perekonomian. Saya sekarang punya Rp 425 triliun, besok saya taruh Rp 200 triliun.
Sudah jalan belum? Sudah jalan? Lagi dijalankan."
Kalau itu masuk ke sistem, dan saya nanti sudah minta ke bank sentral jangan diserap uangnya. Biar aja kalau Anda menjalankan kebijakan moneter, ekonomi dari sisi fiskal yang menjalankan sedikit, tapi nanti mereka juga mendukung. Artinya, ekonomi akan bisa hidup lagi.
Itu sisi private side dari kebijakan moneter, dari kebijakan fiskal. Di government side saya akan pastikan lagi belanja-belanja yang lambat berjalan dengan lebih baik lagi. Ada yang di komplain, MBG tadi ya?
Penyerapannya rendah. Saya tanya sama teman-teman keuangan, bagaimana monitoringnya? Ya, dia bilang bagus-bagus saja, tapi ternyata enggak, jelek.
Loh, terus kita apain? Ya, enggak tahu. Saya bilang begini, ya sudah, nanti sebulan sekali kita akan jumpa pers dengan kepala MBG, nanti kalau penyerang panjang jelek, dia suruh jelasin ke publik, saya di sebelahnya.
Dan program-program yang lain, yang lambat itu saya akan sisir. Saya kan baru, baru hari ketiga dan rapat, sudah kemarin rapat di sini, jadi belum lihat detail seperti apa. Tapi kami akan sisir, bagian-bagian lambat kami percepat.
Caranya gimana? Ya, kalau mereka enggak bisa nyusun kebijakan, apa, anggaran atau menyusun program kerjanya atau pengajuan anggarannya, kami akan kirim orang ke sana, supaya jalannya cepat, dan kita akan monitor on regular basis. Supaya anggaran yang banyak tadi, yang kalau lihat anggaran kan sama aja kan, dari tahun ke tahun, gitu-gitu aja, tuh enggak ada dampaknya, karena penyerapan enggak dimonitor. Dulu pernah ada UKP-4, memonitor itu pun enggak jalan sempurna, karena UKP-4 terlalu jauh.
Saya enggak tahu, harusnya tugas pemerintah sekali, tapi saya enggak tahu. Kalau saya boleh kerjakan, saya akan kerjakan itu supaya memastikan betul-betul penyerang panjang anggaran bisa jalan. Dan tadi, uang yang sudah diutang, yang sudah kita keluarkan, itu betul-betul bermanfaat buat ekonomi.
Dari situ, kenapa saya tadi bisa 6 persen ? Si Purbaya saya tahu, kenapa bisa 6 perse ? Orang-orang bilang, saya tahu, saya pinter.
Saya bilang, kamu sombong. Tapi ini berdasarkan pengalaman selama ini. Kalau saya balikkan, saya lihat, jamanya Pak SBY, 6 persen private.
Jaman Jokowi, pemerintah 5 persen. Kalau kita gabungkan gimana? Pasti di atas itu.
Itu adalah langkah simpel saja yang jangka, mungkin enggak terlalu panjang untuk bisa kita lihat dampaknya. Mungkin enggak secepat 6.5, 6.7 saya bilang. Tapi gerakan ke arah sana sudah terbuka, lebar kalau kita biarkan private sector bekerja.
Jadi gini, saya termasuk yang percaya bahwa agen-agen ekonomi itu mempunyai otak sendiri. Daripada pemerintah enggak mungkin mengontrol semua agen ekonomi untuk berjalan.
Tapi saya ciptakan kondisi di mana mereka berpikir dan berjalan dan bisa tumbuh, bisa berbisnis dengan suasana, situasi yang ada. Itu yang ingin kita ciptakan. Nanti setelah itu ada, baru tadi program-program investasi.
Ini kan enggak lama lah saya beresin. Nanti setelah itu tadi, yang dibotong lacking, akan kita kerjakan Pak Heikal untuk investasi. Saya dulu pernah jadi, saya enggak tahu, boleh enggak gitu.
Nanti saya bentuk tim aja di Kemenko. Saya dulu pernah menjadi wakil ketua tim debottlenecking di jaman pemerintah sebelumnya.
Itu kita sidang setiap pekan. Senin 7 kasus, 7 kasus, 7 kasus kita putuskan. Saya mecahin 300 kasus di laporan kami, kita pecahkan 193 kasus investasi berhubungan dengan investasi sebesar Rp 890 triliun. Jadi saya pikir, saya sudah mengerti, kira-kira bisa memperkirakan dimana bottlenecking, dimana hambatan yang kita hadapi dan gimana cara mecahkannya.