REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran memberikan sejumlah rekomendasi kepada regulator guna meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya di sektor restoran, dan menekan tren rojali (rombongan jarang beli) yang masih berlanjut hingga semester II 2025.
Menurut Yusran, salah satu kebijakan yang terbukti efektif, bahkan saat pandemi Covid-19, adalah memperbanyak stimulus berupa kegiatan MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition) yang digelar di hotel maupun restoran.
“Waktu Covid-19, daya beli masyarakat memang rendah. Saat itu pemerintah mendorong dengan mengadakan banyak MICE di hotel dan restoran. Akhirnya terlihat, perlahan-lahan pergerakan ekonomi mulai pulih. Ini yang mesti dilakukan kembali,” ujar Yusran.
Ia menilai fenomena rojali merugikan banyak pelaku usaha ritel, termasuk restoran. Tren ini, lanjutnya, muncul akibat penurunan daya beli masyarakat yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga secara global. Karena itu, peran pemerintah sebagai regulator dinilai masih dibutuhkan untuk mengangkat daya beli yang melemah.

Yusran juga menekankan pentingnya dukungan pemerintah, terutama bagi restoran yang beroperasi di luar kawasan metropolitan. “Stimulus pemerintah dapat menjadi solusi dan angin segar untuk memperbaiki kondisi bisnis yang melesu,” ucapnya.
Selain pemberian stimulus, PHRI juga merekomendasikan agar pemerintah lebih adil dalam pemberian perizinan berusaha. Salah satu langkah yang dilakukan PHRI adalah berdiskusi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pengawasan terhadap penggunaan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI).
Ia menyebut pengawasan terhadap KBLI di daerah belum optimal, sehingga rawan disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab. “Ini merugikan restoran yang telah memiliki KBLI yang tepat dan telah memenuhi semua syarat sesuai aturan,” kata Yusran.
Diskusi tersebut, menurutnya, juga melibatkan Bappenas, Bank Indonesia, serta Wakil Menteri Dalam Negeri. “Perlu komitmen pemerintah daerah untuk mengawasi penggunaan KBLI. Misalnya di Bali, banyak masalah KBLI yang salah digunakan, akhirnya sistem jadi carut-marut. Kalau tidak diawasi, pendapatan daerah pun tidak berkontribusi terhadap perekonomian nasional,” jelasnya.
PHRI juga menyarankan pemerintah memiliki peta jalan (roadmap) yang konsisten dalam menjalankan program-programnya. Ketetapan arah ini penting untuk menopang usaha yang dibuka berdasarkan kebijakan pemerintah, tetapi belakangan ditinggalkan karena fokus pengembangan telah berubah.
Sebagai contoh, Yusran menyinggung pengusaha hotel dan restoran yang diminta membuka usaha di destinasi superprioritas seperti Mandalika. “Saat ada acara memang ada pergerakan ekonomi, tapi dalam kondisi normal, destinasi ini kurang diminati. Bisnis di sana akhirnya harus mandiri agar tetap bertahan,” ujarnya.
Ia berharap hal serupa dapat diantisipasi agar daya beli masyarakat dan pergerakan ekonomi bisa terjaga stabil ke depan. “Pemerintah harus mengevaluasi program-programnya yang dulu bisa dikatakan menjadi offtaker, tapi ternyata saat ini atau ke depannya bukan lagi menjadi offtaker,” kata Yusran.
Tren rojali kembali mencuat belakangan ini. Fenomena ini merujuk pada sekelompok orang yang datang ke pusat perbelanjaan atau restoran dalam jumlah besar, tetapi hanya berjalan-jalan, melihat-lihat, berfoto, atau menikmati fasilitas tanpa melakukan transaksi pembelian. Salah satu pemicunya adalah turunnya daya beli masyarakat akibat pelemahan kondisi ekonomi.
View this post on Instagram