Selasa 24 Jun 2025 18:20 WIB

Gas dan EBT Disebut sebagai Solusi Masa Depan

IndoGAS 2025 menjadi ruang penting untuk mendorong peran gas dalam sistem energi.

IGS Chairman, Aris Mulya Azof, saat pembukaan IndoGas 2025.
Foto: istimewa/doc humas
IGS Chairman, Aris Mulya Azof, saat pembukaan IndoGas 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Presiden International Gas Union, Andreas Stegher, mengatakan, sangat penting untuk bergerak lebih cepat dan lebih dalam dalam mempercepat dekarbonisasi sistem energi global. Gas tidak hadir untuk bersaing dengan energi baru dan terbarukan (EBT), tetapi untuk melengkapinya. 

“Menurut International Energy Agency, pada tahun 2024, 40% peningkatan permintaan energi global dipenuhi oleh gas alam, menjadikannya sumber energi nomor satu,” kata Andreas Stegher,  dalam siaran pers, Selasa (24/6/2025).

Pada saat yang sama, lanjut Andreas, kita harus terus berada di jalur pengurangan emisi, melalui langkah nyata yang melampaui sekadar target, dengan memanfaatkan seluruh solusi yang tersedia. Sektor gas, bersama seluruh teknologi relevan, gas alam, gas hijau, dan solusi inovatif, sangat penting untuk mengikuti laju dan mempercepat transisi energi ini. 

“Industri gas adalah bagian dari solusi penting menuju masa depan rendah karbon dengan menyediakan sumber energi fosil paling bersih yang tersedia, terjangkau, dan andal saat ini,” ungkapnya. 

Hal ini disampaikan terkait dengan pelaksanaan IndoGAS 2025. Acara ini kembali hadir sebagai forum strategis dua tahunan yang mempertemukan para pemimpin dari sektor pemerintahan, BUMN, pelaku industri, akademisi, hingga mitra internasional untuk membahas arah kebijakan, peluang pasar, dan strategi kolaboratif menuju sistem energi yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan. Di tengah tantangan transisi energi global, konferensi ini menjadi ruang penting untuk memperkuat pemahaman bersama dan mendorong peran gas dalam sistem energi masa depan.

Dalam siaran pers yang dikirimkan Indonesian Gas Society (IGS) disebutkan, dalam upaya global untuk mendorong transformasi energi yang lebih bersih, kawasan Asia-Pasifik, termasuk Indonesia menghadapi tantangan kompleks. Di antaranya bagaimana menyediakan energi rendah emisi, andal, dan terjangkau. Dalam konteks ini, gas alam tidak lagi dipandang sebagai solusi sementara, melainkan sebagai bagian dari strategi utama transisi energi.

Gas tidak hadir untuk bersaing dengan energi baru dan terbarukan (EBT), tetapi untuk melengkapinya. Dengan keunggulan fleksibilitas operasional, waktu implementasi yang relatif cepat, serta infrastruktur yang dapat disesuaikan dengan teknologi masa depan, gas memiliki karakter strategis sebagai pendukung sistem energi nasional yang terus bertransformasi.

IGS menyebutkan, Indonesia telah menetapkan target jangka panjang untuk mencapai net zero emission antara tahun 2050 hingga 2060. Komitmen ini dirancang agar tetap sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan perluasan akses energi yang merata ke seluruh wilayah, termasuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).

Program konversi penggunaan HSD di 41 pembangkit berbasis gas yang dimulai pada Maret 2025 merupakan langkah konkret yang menunjukkan bagaimana gas dapat memperkuat sistem energi nasional. Dengan efisiensi biaya yang lebih baik dan waktu pembangunan yang lebih singkat dibandingkan proyek energi terbarukan skala besar, program ini mampu menutup kesenjangan pasokan, terutama di wilayah dengan akses energi terbatas. Selanjutnya, pembangkit tambahan baru akan dibangun berdasarkan ketersediaan pasokan dan infrastruktur gas.

Selain itu, infrastruktur gas yang saat ini sedang dibangun—seperti FSRU dan jaringan pipa gas—dipersiapkan dengan visi jangka panjang, agar kompatibel dengan teknologi hidrogen dan CCS. Dengan kata lain, gas tidak hanya menjadi bagian dari solusi jangka menengah, tetapi juga dirancang untuk mendukung dan mengiringi transisi penuh menuju sistem energi bersih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement