REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kepala Direktorat Pengawasan Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Uli Agustina, mengimbau investor muda untuk tidak berinvestasi pada aset kripto hanya karena mengikuti tren atau Fear of Missing Out (FOMO). Ia juga mengingatkan pentingnya memahami karakteristik aset kripto yang akan dibeli, termasuk dokumen informasi dan cetak biru pengembangannya (whitepaper), serta tingkat volatilitas harga aset tersebut.
“Untuk anak muda, (sebaiknya) tidak ikut-ikutan FOMO, lihat teman kiri-kanan, lalu ikut buka akun dan sebagainya. Pahami dulu sebelum melakukan transaksi ini, tentunya dengan pedagang yang sudah terdaftar di OJK,” ujar Uli Agustina di Jakarta, dikutip Jumat (20/6/2025).
Selain itu, Uli mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam mengakses platform investasi, terutama saat menggunakan jaringan internet atau WiFi publik yang rawan terhadap pencurian data pribadi.
Ia juga mengingatkan agar investor muda tidak menggunakan dana yang telah dialokasikan untuk kebutuhan pokok, seperti biaya pendidikan.
“Saya beberapa kali menerima pesan dari teman-teman yang menangis karena mereka memakai uang kuliah untuk membeli aset kripto yang tidak mereka pahami, dan akhirnya uang itu hilang. Jadi, memang harus benar-benar paham dan hati-hati,” katanya.
Senada dengan Uli Agustina, Direktur Strategi dan Kebijakan Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi), Muchtarul Huda, menekankan pentingnya literasi digital dan perlindungan data pribadi dalam investasi kripto.
“Yang pasti, literasi digital harus tetap diutamakan. Kemudian perlu diinformasikan kepada masyarakat bahwa data pribadi itu sangat penting, sehingga penggunaannya harus bijak,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa penggunaan data secara tidak bijak dan ketidakwaspadaan masyarakat dalam membagikan data pribadi dapat menimbulkan ancaman berupa phishing dan kejahatan siber lainnya, jika data tersebut jatuh ke tangan pihak yang tidak kredibel.
Untuk mencegah penyalahgunaan data pribadi, Muchtarul menyarankan penggunaan fitur otentikasi verifikasi (authentication verification).
Ia juga mengimbau masyarakat untuk memahami hak subjek data pribadi, yakni hak individu untuk mengakses, memperbaiki, menghapus, dan membatasi pemrosesan data pribadi mereka.
“Khawatirnya, karena kita tidak tahu hak dan kewajiban pengendali, kita serahkan data kita begitu saja. Padahal, ada hal-hal yang perlu kita pertimbangkan dan kewajiban pengendali untuk menjaga keamanan data tersebut,” katanya.