REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pelaku industri meminta pemerintah memperkuat regulasi dan perlindungan pasar baja dalam negeri. Langkah ini dinilai penting untuk menjaga daya saing industri baja nasional di tengah derasnya arus impor produk baja.
Presiden Direktur PT Gunung Raja Paksi Tbk (GRP), Fedaus, mengatakan saat ini industri baja nasional telah melakukan transformasi melalui efisiensi operasional, digitalisasi sistem, dan penerapan praktik ramah lingkungan. Namun, hal ini belum cukup jika baja impor terus masuk tanpa pengawasan ketat.
“Kalau baja impor terus masuk tanpa kontrol yang memadai, dan produk non-standar yang tidak dilengkapi SNI maupun TKDN masih bebas beredar di pasar, ini adalah persaingan yang tidak adil,” ujar Fedaus dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (31/5/2025).
Ia menegaskan industri tidak menolak perdagangan terbuka, namun menuntut adanya keadilan serta keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha dalam negeri.
“Kita tidak bisa bicara hilirisasi atau industrialisasi 2045 jika fondasi industrinya, yakni baja, tidak berdiri kuat di negeri sendiri. Inilah saatnya keberpihakan itu diwujudkan, bukan sekadar diwacanakan,” tambahnya.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin menyebut industri baja nasional saat ini sedang tergopoh-gopoh menghadapi banjir impor. Beban ini makin berat akibat turunnya permintaan baja dalam negeri imbas dari kebijakan efisiensi anggaran.
Menurut mantan Menteri Perindustrian itu, penertiban pasar menjadi langkah mendesak, terutama terhadap produk baja non-standar atau yang dikenal sebagai “besi banci” yang masih banyak beredar di pasar gelap.
”Saya berharap ada pengaturan agar baja yang sudah mampu diproduksi dalam negeri tidak lagi diimpor, sehingga daya saing industri baja nasional dapat makin meningkat,” kata Saleh.
Ia juga menyoroti lemahnya implementasi kebijakan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Saleh mendorong agar pemerintah memberikan penegasan dalam rapat kabinet terbatas untuk mewajibkan penggunaan baja nasional dalam belanja APBN, APBD, dan BUMN.
”Hal ini agar baja nasional benar-benar menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan dapat tumbuh berkembang,” tegasnya.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, kapasitas produksi baja nasional saat ini sekitar 17 juta ton per tahun, sementara kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 21 juta ton pada 2025.
Jika tidak dikelola dengan strategi yang tepat, proyeksi kebutuhan baja nasional yang mencapai 100 juta ton per tahun pada 2045 akan memperbesar ketergantungan terhadap impor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor besi dan baja Indonesia pada tahun 2023 mencapai 13,38 miliar dolar AS, mengalami penurunan sebesar 14,76 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pada Mei 2024, nilai impor besi dan baja meningkat sebesar 29,20 persen secara bulanan menjadi 0,95 miliar dolar AS dibandingkan bulan sebelumnya 0,74 miliar dolar AS. Secara tahunan, nilai impor besi dan baja mengalami penurunan sebesar 18,79 persen pada Mei 2024 dibandingkan Mei 2023.