REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG -- Berjarak sepelemparan batu dari bibir pantai, tampak tumpukan sampah yang menggunung di atas keranjang. Sementara itu, jemari para ibu lincah memisahkan sampah plastik dan non-plastik.
Berteduh di lokasi Bank sampah, mereka memilah sampah-sampah plastik berdasarkan kategori. Sampah botol air mineral kemasan 600 ml dan 1,5 liter mendapatkan tempat paling istimewa. Saat dijual ke pengepul, jenis sampah ini harganya paling tinggi, mencapai Rp 6 ribu per kilogram. Menyusul sampah kemasan minuman plastik ukuran yang lebih kecil 220 ml dijual berkisar Rp 2 ribu hingga Rp 5 ribu per kilogram. Sedangkan sampah tutup botol Rp 2.500 per kilogram, dan sampah ember plastik Rp 1.800 per kilogram.
Selama setahun setengah terakhir ini, para istri nelayan ini aktif sebagai pemilah sampah untuk membantu mencari nafkah tambahan di saat hasil tangkapan nelayan menurun karena cuaca tidak menentu. Bank Sampah ini merupakan program penanganan sampah yang diinisiasi Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) dan Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (KKPMP) Desa Tanjungpakis Karawang.
Sampah botol air mineral paling banyak ditemukan di Tanjungpakis. Ratusan nelayan kerap membawa air mineral kemasan 1,5 liter sebagai bekal melaut. Sekali berangkat untuk perjalanan singkat selama sehari penuh, satu kapal berisi empat kru bisa membawa dua sampai empat botol air. Kebiasaan ini berdampak ke melimpahnya sampah. Tak hanya berupa sampah plastik, sampah domestik turut memberikan andil.
Ketua KKPMP Tanjungpakis Sopyan Iskandar menuturkan, sampah berasal dari dua sumber utama. Pertama, sampah rumah tangga dan limbah industri kecil yang dibuang sembarangan dari hulu sungai, mengambang terbawa sampai muara dan tersangkut di pantai. Kedua, sampah yang dibuang sembarangan oleh masyarakat.
"Memang masih ada masyarakat pesisir yang buang sampah sembarangan. Karena memang wilayah pesisir sulit dijangkau armada sampah dari dinas. Aksesnya jauh, jumlah armadanya sedikit," kata Sopyan dikutip dari siaran pers, Rabu (23/2/2025).
Ada opsi lain, kata Sopyan, misalnya dengan membuka layanan pengangkutan sampah, namun biayanya sangat tinggi. "Makanya kami inisiatif membuat program ini, agar persoalan sampah bisa ditangani dengan biaya rendah karena berbasis komunitas. Sembari kami mendorong perubahan perilaku masyarakat agar membuang sampah pada tempatnya," ujar Sopyan.
Eksistensi program Bank Sampah di Desa Tanjungpakis, Kecamatan Pakisjaya, Karawang dimulai dengan membagikan tempat sampah dan buku tabungan ke 114 rumah secara gratis. Kepala keluarga dari masing-masing rumah otomatis menjadi nasabah Bank Sampah. Secara berkala setiap dua kali seminggu, petugas bentukan KKPMP mengambil sampah-sampah tersebut, lalu dikumpulkan di tempat pemilahan untuk dipilah. Sampah bernilai ekonomis akan diserahkan ke pengepul, sementara yang tidak bernilai ekonomis akan dimusnahkan.
Hasil keuntungan dari sampah ekonomis yang dijual akan dibagi dua. Pertama untuk kebutuhan operasional, seperti perawatan sekretariat, perawatan tempat sampah, upah penarik dan pemilah sampah. Sisanya akan jadi hak nasabah dalam bentuk tabungan. Nasabah bisa kapan saja menarik tabungan ini.
"Masyarakat senang karena dari perilaku buang sampah pada tempatnya ternyata bisa menghasilkan uang. Bahkan ada rumah yang dalam waktu tiga bulan sudah mengumpulkan saldo tabungan mencapai Rp 400 ribu. Petugas pemilah dan penarik sampah yang berasal dari masyarakat juga senang, karena mereka jadi punya alternatif mata pencaharian," kata Sopyan.
Ke depan, Sopyan berangan-angan untuk membesarkan jangkauan program Bank Sampah. Sampai saat ini, area layanan Bank Sampah hanya sampai RT sekitar, itu pun tidak terlayani seluruhnya. Ia juga ingin mengolah sampah lain, seperti eceng gondok dan limbah laut.
"Di irigasi kami banyak eceng gondok. Beberapa waktu yang lalu kami sudah difasilitasi studi banding oleh PHE ONWJ, untuk melihat pemanfaatan eceng gondok jadi bungkus pengganti plastik. Kami juga ingin mengolah limbah laut jadi suvenir. Di sini ada banyak kerang berduri yang dibuang nelayan karena jadi hama," katanya.
Gayung bersambut, rencana ini disambut baik PHE ONWJ. Head of Communication, Relations & CID PHE ONWJ R Ery Ridwan mengatakan, inisiatif program ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) nomor 14 tentang kehidupan bawah air atau ekosistem laut dan SDG nomor 12 tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.
"Melalui program ini, kami berupaya untuk mengurangi pencemaran laut akibat limbah plastik serta meningkatkan kualitas lingkungan pesisir. Kami percaya bahwa kolaborasi antara masyarakat lokal dan sektor swasta dapat menghasilkan solusi inovatif dalam menangani masalah sampah sekaligus memberdayakan komunitas," kata Ery saat dikonfirmasi di Jakarta.
Pihaknya berharap, program ini tidak hanya membantu mengatasi masalah sampah di wilayah pesisir, tetapi juga memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat setempat.
"Dengan melibatkan para istri nelayan sebagai pemilah sampah, dan para nelayan sebagai pengangkut sampah, kami berharap dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong kesadaran akan pentingnya pengelolaan limbah yang berkelanjutan," katanya.