Sabtu 19 Apr 2025 13:10 WIB

Gejolak Geopolitik Bayangi Industri Migas, IPA Convex 2025 Siap Jadi Forum Strategi Global

Geopolitik dan tekanan global dekarbonisasi, industri migas ada di persimpangan

Pekerja Pertamina EP Papua Field memeriksa fasilitas di area Pengeboran Sumur Eksplorasi Minyak dan Gas (migas) Buah Merah (BMR)-001, Distrik Klasafet, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, Senin (10/6/2024). Pengeboran sumur eksplorasi Buah Merah (BMR)-001 dilakukan untuk membuktikan keberadaan sumber daya migas dari wilayah timur Indonesia sehingga dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan pasokan migas dalam negeri serta mendukung pencapaian target produksi nasional.
Foto: ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso
Pekerja Pertamina EP Papua Field memeriksa fasilitas di area Pengeboran Sumur Eksplorasi Minyak dan Gas (migas) Buah Merah (BMR)-001, Distrik Klasafet, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, Senin (10/6/2024). Pengeboran sumur eksplorasi Buah Merah (BMR)-001 dilakukan untuk membuktikan keberadaan sumber daya migas dari wilayah timur Indonesia sehingga dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan pasokan migas dalam negeri serta mendukung pencapaian target produksi nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketidakpastian geopolitik global dan melambatnya transisi energi menjadi sorotan utama industri minyak dan gas (migas) dunia. Di tengah kondisi tersebut, IPA Convention and Exhibition (IPA Convex) 2025 akan digelar sebagai forum penting bagi para pemimpin industri migas global untuk merumuskan strategi menghadapi dinamika baru pasar energi.

Acara tahunan yang dihelat oleh Indonesian Petroleum Association (IPA) ini akan berlangsung pada 20–22 Mei 2025 di ICE BSD City, Tangerang Selatan, dan dijadwalkan menghadirkan sejumlah eksekutif kunci dari perusahaan energi global seperti ExxonMobil, BP, Eni, Mubadala Energy, Petronas, serta Medco Energi dari dalam negeri.

Ketua IPA Convex 2025, Hariadi Budiman, mengungkapkan bahwa tekanan geopolitik, konflik regional, serta ketidakpastian ekonomi dunia telah memicu ketidakseimbangan dalam rantai pasok energi global. Di saat yang sama, energi fosil masih menyuplai sekitar 80 persen dari kebutuhan energi dunia.

“Permintaan terhadap energi terus tumbuh, sementara tekanan emisi dan target dekarbonisasi tetap tinggi. Ini menciptakan tantangan yang kompleks bagi pelaku industri migas,” ujar Hariadi, Sabtu (19/4/2025).

Sesi utama “Global Executive Talk” akan menjadi sorotan IPA Convex 2025. Para pemimpin perusahaan energi dunia akan membahas strategi pengelolaan portofolio energi, penyesuaian investasi migas di tengah isu iklim, serta kebutuhan mendesak akan regulasi yang stabil dan insentif fiskal untuk menjaga daya saing industri.

Menurut analisis Wood Mackenzie, realisasi transisi energi masih jauh dari ideal. Investasi global di sektor migas masih mendominasi, dengan lebih dari 85% kapital global pada 2024 mengalir ke proyek minyak dan gas. Hal ini menandakan bahwa sektor migas belum akan tergantikan dalam waktu dekat.

Hariadi menyebutkan, Indonesia berkontribusi sekitar 1,5–2% dari total belanja modal sektor hulu global, atau senilai US$7 miliar pada 2025. Dengan potensi tersebut, Indonesia perlu memperkuat daya tarik investasinya melalui kepastian kebijakan dan efisiensi pengelolaan sumber daya.

“Investor akan memilih wilayah yang memiliki kombinasi antara biaya rendah, risiko terkendali, emisi minimal, serta kepastian hukum. Inilah momen bagi Indonesia untuk memperkuat daya saingnya,” jelas Hariadi.

Sejalan dengan program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai ketahanan energi nasional, IPA Convex 2025 juga menjadi wadah membangun kolaborasi dan memperkuat kepercayaan pasar terhadap masa depan industri migas Indonesia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement