REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dari Universtas Andalas Syafruddin Karimi mengkritisi indeks keyakainan konsumen (IKK) yang mengalami penurunan dari 126,4 pada Februari 2025 menjadi 121,1 pada Maret 2025, terendah sejak Oktober 2024. Menurutnya, kondisi itu tak luput dari dampak kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump.
“Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia yang dirilis pertengahan April 2025 menunjukkan tren penurunan yang mengkhawatirkan. Ini adalah penurunan tiga bulan berturut-turut, dan bukan tanpa sebab. Sentimen konsumen tidak bisa dilepaskan dari realitas ekonomi global yang bergejolak, terutama sejak Presiden AS Donald Trump memicu perang tarif baru pada awal bulan,” ujar Syafruddin dalam keterangannya, Selasa (15/4/2025).
Syafruddin menggambarkan, dampak global telah menjadi luka bagi domestik. Menurut analisisnya, kebijakan Trump disinyalir telah memukul kondisi daya beli rumah tangga masyarakat Indonesia.
“Kebijakan ekonomi yang tampaknya jauh di Washington ternyata memiliki konsekuensi langsung terhadap daya beli rumah tangga di Jakarta, Medan, dan Surabaya,” ungkapnya.
“Ketika pasar global bergejolak, nilai tukar rupiah terhadap dolar ikut tertekan. Dan ketika rupiah melemah, harga barang impor dan kebutuhan pokok meningkat, terutama pangan, energi, dan bahan baku industri,” lanjutnya.
Lantas, Syafruddin mengatakan, di tengah pelemahan daya beli akibat stagnasi upah dan kenaikan biaya hidup, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang telah melanda sektor padat karya sejak 2024, mencapai lebih dari 90 ribu pekerja, menjadi pemicu ganda bagi memburuknya sentimen konsumen.
“Tidak heran jika seluruh komponen indeks keyakinan konsumen, dari ekspektasi pendapatan hingga persepsi terhadap lapangan kerja, menunjukkan penurunan serempak,” terangnya.
Syafruddin mewanti-wanti perlunya kesadaran bahwa konsumsi rumah tangga adalah mesin utama ekonomi Indonesia, menyumbang lebih dari 53 persen terhadap PDB. Jika konsumen tidak percaya diri untuk belanja, motor utama pertumbuhan akan kehilangan tenaganya.
Dalam konteks tersebut, ia mengutip laporan Samuel Economics (15 April 2025) yang menyebutkan bahwa tren penurunan sentimen konsumen ini bisa mendorong shifting ke pola tabungan berjaga-jaga (precautionary saving), yang justru akan menekan sektor ritel dan jasa lebih dalam.
“Dengan harga barang naik, lapangan kerja makin sempit, dan sentimen global memburuk, ekonomi Indonesia menghadapi risiko perlambatan pertumbuhan di bawah 5 persen tahun ini, sebuah angka yang, bila tak ditangani, bisa berdampak pada defisit anggaran dan stabilitas sosial,” ujarnya.
Syafruddin lantas menyinggung bahwa pemerintah tidak cukup hanya menyampaikan bahwa inflasi masih terkendali atau pertumbuhan masih positif. Sebab, data indeks konsumen dan laporan pasar global menunjukkan bahwa persepsi masyarakat tidak sejalan dengan narasi resmi.
Maka, menurutnya, solusi harus berbasis realita. Seperti subsidi pangan yang tepat sasaran, jaring pengaman sosial yang diperluas, dan insentif kepada sektor padat karya agar PHK tidak terus berlanjut.
Ia melanjutkan, di tengah dunia yang tak pasti, dan ketika poros kekuatan global mulai bergeser dari dolar ke mata uang alternatif seperti Yen dan Yuan, Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa krisis kepercayaan global ikut merembet ke rumah tangga Indonesia.
Ia menyebut, jangan sampai rumah tangga yang sudah tertimpa PHK, harga naik, dan daya beli turun juga harus menerima kenyataan bahwa kebijakan luar negeri negara lain ikut mempersempit ruang hidup mereka.
“Penurunan indeks keyakinan konsumen bukan sekedar angka statistik. Ia adalah barometer psikologi publik terhadap ekonomi nasional. Dan ketika ekonomi global bergejolak karena tarif dan perang dagang, dampaknya nyata hingga ke dapur rakyat Indonesia. Pemerintah perlu menjawab bukan hanya dengan optimisme, tetapi dengan kebijakan fiskal dan sosial yang konkret, terukur, dan tepat sasaran,” tegasnya.
Diketahui, Bank Indonesia (BI) merilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Maret 2025 berada di level 121,1. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan pada bulan sebelumnya sebesar 126,4. Meski mengalami penurunan, BI mengatakan bahwa angka IKK tersebut masih dalam koridor.
“Survei konsumen Bank Indonesia pada Maret 2025 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi terjaga, hal ini tercermin dari IKK Maret 2025 yang tetap berada pada level optimis sebesar 121,1,” tulis BI dalam keterangannya, Selasa (15/4/2025).
Denny menjelaskan, tetap terjaganya keyakinan konsumen pada Maret 2025 ditopang oleh Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang tetap berada pada level optimis (indeks >100).
IKE dan IEK masing-masing tercatat sebesar 110,6 dan 131,7. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan indeks bulan sebelumnya yang masing-masing tercatat sebesar 114,2 dan 138,7.