REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi kembali diminta berbicara terkait wacana pembatasan kuota impor. Beberapa hari lalu, Presiden Prabowo Subianto menyatakan kuota impor untuk produk atau komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sebaiknya dihapus.
Pesan Presiden menimbulkan diskusi panjang di berbagai kalangan. Menurut Arief, penegasan dari perintah kepala negara yakni memperluas kesempatan pengusaha importir. Kemudian komoditas yang diimpor pun, hanya yang sifatnya insufficient saja.
"Itu Bapak Presiden maksudnya supaya dipermudah, dibuka seluas-luasnya, jangan hanya 1-2 perusahaan saja. Angkanya kan sudah ada di neraca komoditas, itu yang dibuka. Jangan ditafsirkan bahwa semuanya dibuka untuk impor. Tidak begitu," ujarnya, dikutip Jumat (11/4/2025).
"Jadi kalau sudah ada perhitungannya, dibuka begitu. Jangan hanya 1-2 saja pihak saja yang terima kuota itu. Komoditas yang diimpor pun hanya yang kurang atau insufficient. Misalnya produksi dalam negeri daging, itu kan tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan kita," tutur Arief menambahkan.
Berdasarkan data Proyeksi Neraca Pangan yang diolah NFA, komoditas daging ruminansia seperti daging sapi dan kerbau, memang menunjukkan masih ada selisih defisit antara ketersediaan stok terhadap kebutuhan konsumsi. Disebutkan stok di awal tahun 2025 ini ada 65,6 ribu ton.
Selanjutnya dari angka tersebut ditambahkan proyeksi produksi sapi/kerbau dalam negeri setahun di angka 410,3 ribu ton dan hasil pemotongan sapi/kerbau bakalan di 141,3 ribu ton. Sehingga total ketersediaan berada di angka 617,3 ribu ton. Sementara proyeksi kebutuhan konsumsi setahun secara nasional di angka 766,9 ribu ton.
Selain daging ruminansia, Proyeksi Neraca Pangan menunjukkan kedelai dan bawang putih juga memerlukan pengadaan dari luar negeri. Ini karena ketersediaan kedelai yang berasal dari stok awal tahun dan perkiraan produksi setahun di 2025 totalnya berkisar 392 ribu ton, sedangkan kebutuhan konsumsi setahun berada di angka hingga 2,6 juta ton.
Sementara ketersediaan bawang putih totalnya 110 ribu ton yang merupakan akumulasi dari stok awal tahun 87 ribu ton dan perkiraan produksi setahun di tahun ini yang hanya 23 ribu ton. Untuk estimasi kebutuhan konsumsi bawang putih selama setahun di tahun ini bisa mencapai 622 ribu ton.
Kendati begitu, menurut Arief, pemerintah tetap mengutamakan produksi pangan dalam negeri. Neraca Komoditas yang disusun pun tentunya selalu mengusung spirit melindungi petani dan peternak Indonesia.
"Produksi dalam negeri itu selalu menjadi yang utama. Nomor satu itu. Adapun kalau belum cukup atau insufficient, nah itu baru dipikirkan pengadaan dari luar negeri. Jadi pengadaan dari luar negeri itu adalah alternatif terakhir," ujarnya.
Presiden, jelas dia, mempertimbangkan perlu adanya trade balance. "Jadi kalau kita ekspor ke suatu negara, kita juga perlu menyeimbangkan impor kita dari sana sesuai kebutuhan kita. Tapi kita juga harus sambil meningkatkan produksi dalam negeri," tambah Kepala NFA.
Proyeksi yang disusun pemerintah tentunya memuat angka-angka yang kredibel dengan tetap bertujuan melindungi kepentingan produsen pangan dalam negeri. Pengadaan luar negeri pun senantiasa akan diupayakan tidak memberi dampak disruptif.
"Jadi sekali lagi, bukan impornya dibuka sebanyak-banyaknya masuk ke sini. Kita ada neracanya, yang maksudnya lebih ke melindungi para petani dan peternak. Ini kita susun bersama-sama dengan kementerian lembaga dan semua stakeholder pangan," kata Arief.
Dinamika di atas bagian dari upaya pemerintah bereaksi terhadap kemelut persaingan tarif ekspor yang diberlakukan Amerika Serikat. Ekspansi ke pasar domestik diperkuat."Ada sisi positifnya juga, bahwa kita bisa memperluas pasar dalam negeri. Salah satunya misalnya dengan adanya MBG (Makan Bergizi Gratis). Ada pula kegiatan-kegiatan domestik yang bisa kita optimalkan untuk membuka pasar yang baru," ujar Arief.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook