REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dinilai bakal memukul kondisi perekonomian global, termasuk berdampak pada ekonomi Indonesia. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan lebih rendah dari prediksi, yakni sekitar 4,2 persen—4,5 persen.
“Memasuki kuartal kedua tahun 2025, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami koreksi yang lebih tajam dari sekadar realistis, menjadi cermin dari ketidakmampuan kebijakan domestik dalam beradaptasi cepat terhadap guncangan eksternal,” kata Achmad dalam keterangannya, Kamis (10/4/2025).
Pemerintah diketahui menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, sedangkan World Bank memperkirakan 5,1 persen dan OECD di angka 4,9 persen. Namun, Achmad berpendapat, perkembangan global yang tidak menguntungkan, terutama kebijakan tarif agresif Presiden AS Donald Trump, membuat angka-angka tersebut menjadi sekadar ilusi optimisme.
“Proyeksi yang lebih jujur dan kritis menurut kami, menempatkan pertumbuhan Indonesia hanya di kisaran 4,2 persen hingga 4,5 persen, bahkan berpotensi lebih rendah apabila respon kebijakan tetap pasif,” ungkapnya.
Achmad menuturkan, tarif yang sedianya dikenakan terhadap berbagai produk dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang sebesar 32 persen, memang ditunda selama 90 hari. Namun penundaan tersebut bukanlah solusi permanen.
“Tarif universal 10 persen tetap berlaku, dan setelah masa jeda berakhir, tekanan ekspor Indonesia ke pasar AS dipastikan meningkat. Produk seperti tekstil, alas kaki, elektronik, hingga otomotif akan menghadapi tantangan daya saing yang makin besar,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi itu tidak hanya menurunkan volume ekspor, tetapi juga memperlebar defisit perdagangan, yang lantas menyeret nilai tukar rupiah ke titik nadir. Saat ini terpantau nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 16.800 per dolar AS, bahkan di pasar DNF Mata Uang Garuda telah menembus Rp 17.000 per dolar AS.
Diproyeksikan, angkanya akan melorot ke level Rp 17.300 per dolar AS menjelang akhir 2025. Achmad menyebut depresiasi tersebut memperberat beban impor, terutama bahan baku industri dan energi, sehingga mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat.
“Pemerintah dan Bank Indonesia tidak kompak dan dinilai lambat dalam mengantisipasi krisis nilai tukar ini, terutama karena masih mengandalkan instrumen moneter dan fiskal yang tidak cukup gesit merespons krisis global,” tuturnya.
Achmad melanjutkan, gejolak ekonomi global akibat pengenaan tarif Trump memang tidak eksklusif terhadap Indonesia saja. Banyak negara di dunia yang terguncang, seperti China, India, dan Vietnam.
Namun, ia menyebut prediksi sementara menunjukkan bahwa kontraksi ekonomi di Indonesia bisa lebih dalam 1—1,5 persen dibandingkan proyeksi awal. Menjadikannya salah satu negara dengan koreksi pertumbuhan terbesar di Asia Tenggara.
“Hal ini disebabkan ketergantungan tinggi terhadap ekspor komoditas dan barang manufaktur berbiaya rendah, serta lemahnya permintaan domestik akibat inflasi yang tak terkendali,” jelasnya.
Achmad mengatakan, kondisinya berbeda dengan China yang sudah lama mempersiapkan pasar baru selain AS dalam perdagangan internasionalnya. China masih memiliki ketahanan berkat pasar domestik yang kuat dan intervensi fiskal serta moneter besar-besaran. Adapun India mampu mengompensasi tekanan eksternal dengan kebijakan subsidi energi langsung.
“Sementara itu, Indonesia masih terpaku pada cara-cara lama seperti bansos dan subsidi konvensional, yang sayangnya belum cukup efektif menjawab tekanan struktural,” ujar dia.
APBN Tertekan
Achmad menyinggung pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan bahwa APBN akan menjadi jangkar utama menghadapi tekanan global. Pemerintah meningkatkan alokasi untuk bantuan sosial dan subsidi, serta memperluas insentif fiskal untuk menjaga konsumsi dan investasi.
“Namun, masalah utamanya adalah dari mana dana itu berasal, soalnya pengandalan pembiayaan global bond tidak memadai karena selain lebih mahal karena harus menawarkan yield lebih tinggi, kebijakan Trump juga menjadikan investor tidak tertarik ke negara berkembang,” kata dia.
Ia mengatakan, kepercayaan terhadap negara berkembang mulai tergerus seiring dengan meningkatnya proteksionisme dan gejolak geopolitik. Kondisi itu membuat investor global lebih memilih menempatkan dana di negara maju yang dianggap lebih aman.
Akibatnya, spread obligasi Indonesia melebar, mencerminkan risiko yang lebih tinggi dan memperburuk posisi fiskal pemerintah. Selain itu, dengan nilai tukar yang terus melemah, lanjutnya, pembiayaan utang luar negeri (ULN) menjadi semakin tidak efisien.
Achmad menuturkan, ketika sumber pembiayaan eksternal menyusut, pilihan yang tersisa bagi pemerintah adalah meningkatkan pajak atau memangkas belanja publik. Keduanya, kata dia, berisiko memperlambat pemulihan ekonomi. Tanpa inovasi pembiayaan yang berkelanjutan dan kredibel, ruang gerak fiskal akan makin sempit.
Adapun, peningkatan belanja sosial dinilai memang bisa menahan laju penurunan konsumsi jangka pendek. Tetapi, jika kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan reformasi struktural dan restrukturisasi sektor ekspor, stimulus hanya menjadi penahan sesaat.
“Ketika stimulus berakhir, ekonomi akan kembali terseret tekanan global,” ujarnya.
Lebih lanjut, kebijakan fiskal ekspansif di tengah depresiasi rupiah dan menurunnya penerimaan negara akan menciptakan tekanan besar pada struktur APBN. Menurut Achmad, defisit anggaran yang semula dipatok di angka 2,29 persen dari PDB berpotensi melebar menjadi di atas 3 persen apabila tren penerimaan pajak terus turun dan harga komoditas global tidak membaik.
“Dalam kondisi seperti ini, ruang fiskal pemerintah menjadi makin sempit, sementara kebutuhan pembiayaan membengkak,” tuturnya.
Lantas, pemerintah dipaksa meningkatkan utang melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN), yang menambah beban bunga dan mempersempit ruang fiskal di masa depan. Dengan kurs rupiah yang makin tertekan, pembayaran ULN dalam dolar AS menjadi makin mahal.
“Ketergantungan pada pembiayaan eksternal membuat stabilitas fiskal Indonesia rentan terhadap gejolak global dan penarikan modal oleh investor asing,” ungkapnya.
Achmad melanjutkan, sayangnya, belum terlihat adanya strategi struktural jangka menengah yang konkrit dan adaptif dari pemerintah. Menurutnya, program hilirisasi industri belum memberikan kontribusi nyata terhadap diversifikasi ekspor.
Upaya memperluas pasar non-tradisional masih bersifat sporadis, dan reformasi perpajakan belum menjangkau kelompok ekonomi digital dan sektor informal secara optimal. “Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum cukup adaptif dalam menghadapi ekonomi global yang makin proteksionis,” ujarnya.
Dalam kondisi tersebut, ketidakmampuan adaptif pemerintah dalam mengelola krisis eksternal dapat memperdalam tekanan ekonomi lebih jauh dari yang diprediksi.
“Proyeksi kami bahwa pertumbuhan 4,2 persen bukanlah pesimisme, tetapi justru bentuk realisme yang menggambarkan respons kebijakan yang lambat, tidak terintegrasi, dan tidak adaptif,” tegasnya.