Senin 07 Apr 2025 13:20 WIB

Tarif AS dan Deretan Potensi Dampaknya bagi Ekonomi Indonesia

Ekspor Indonesia ke AS bisa turun hingga 25 persen.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Presiden Donald Trump berbicara dalam acara pengumuman tarif baru di Rose Garden Gedung Putih, Rabu, 2 April 2025, di Washington.
Foto: AP Photo/Evan Vucci
Presiden Donald Trump berbicara dalam acara pengumuman tarif baru di Rose Garden Gedung Putih, Rabu, 2 April 2025, di Washington.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan motif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menaikkan atau memberikan tarif impor barang yang masuk ke AS untuk keamanan industri dalam negeri AS. Dalam pidatonya, ucap Huda, Trump menekankan akan keamanan industri dalam negeri AS dengan memberikan tarif terhadap barang-barang impor dari luar.

"Tujuannya untuk memberikan stimulus terhadap industri dalam negeri AS," ujar Huda saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (7/4/2025).

Baca Juga

Huda menyampaikan kenaikan atau pemberian tarif impor barang luar negeri, termasuk Indonesia ke AS sebesar 32 persen akan menyebabkan kenaikan harga barang yang dikonsumsi oleh masyarakat AS. Akibatnya, lanjut Huda, permintaan agregat barang-barang impor tersebut akan mengalami koreksi.

Menurut publikasi IMF pada 2024, kenaikan tarif impor satu persen akan mengurangi impor barang sebesar 0,8 persen. Artinya, ekspor Indonesia ke AS bisa turun hingga 25 persen. 

"Dampaknya surplus perdagangan luar negeri Indonesia bisa terancam turun karena AS merupakan salah satu penyumbang surplus terbesar Indonesia," ucap Huda. 

Huda memaparkan kontribusi ekspor ke AS terhadap ekspor total juga menyentuh 10 persen atau tertinggi kedua setelah Cina. Dengan asumsi tidak ada kenaikan impor dari negara lain dan ekspor ke negara lain, Huda menyampaikan, ekspor bersih atau net ekspor Indonesia bisa berkurang 11 persen.

Huda menyoroti dampak lanjutan dari pelemahan ekspor Indonesia ke AS beripa penurunan produksi dalam negeri. Ketika produksi dalam negeri menurun, Huda menilai perusahaan di Indonesia akan menyesuaikan dengan cara salah satunya memberhentikan karyawannya. 

"Angka pemutusan hubungan kerja akan meningkat seiring dengan penurunan permintaan AS. Perkiraan model yang saya bangun, industri tekstil dan produk tekstil akan mengalami PHK sebesar 191 ribu tenaga kerja," lanjut Huda. 

Huda memproyeksikan barang Cina dan Vietnam akan beralih ke Indonesia karena ada perjanjian pasar bebas. Huda mengatakan langkah tersebut memang menguntungkan konsumen dengan barang yang lebih murah, namun mengancam keberlangsungan industri dalam negeri, termasuk industri tekstil dan produk tekstil.

"Dampak lainnya adalah rupiah melemah karena permintaan dolar meningkat karena harga barang lebih mahal," sambung Huda. 

Huda menjelaskan dampak negatif pelemahan rupiah akan membuat barang impor menjadi lebih mahal yang menyebabkan imported inflation. Hal ini bisa berujung pada penurunan daya beli masyarakat lantaran barang-barang dari bahan baku impor, seperti kedelai, akan lebih mahal, termasuk tempe dan tahu.

"Dampak positif yang bisa dimanfaatkan adalah harga barang Indonesia bisa lebih kompetitif. Namun negara lain juga mengalami pelemahan terhadap dolar yang menyebabkan harga barang dari negara lain juga lebih kompetitif," ucap Huda. 

Huda melanjutkan dampak terhadap ekonomi global akan signifikan terkait dengan penurunan output ekonomi global sebesar 0,07 persen akibat adanya tarif impor AS. Penurunan tersebut dapat lebih tinggi lagi ketika negara lain melakukan tindakan balasan terhadap produk-produk AS.

"Terkait dampak ke AS, saya juga melihat dampak negatif terhadap perekonomian AS karena akan menyebabkan perang dagang plus harga yang diterima warga AS lebih mahal," kata Huda. 

Huda menyampaikan hal ini dikarenakan globalisasi yang menyebabkan dalam satu produk, terdapat komponen yang tidak diproduksi oleh perusahaan AS. Maka harga-harga akan cenderung lebih mahal dan menyebabkan permintaan turun secara agregat. 

"Ekspor AS juga akan turun. Cukup banyak industri AS juga yang berorientasi ekspor namun memerlukan bahan baku impor. Ditambah Cina juga memberlakukan tarif yang sama terhadap barang AS yang hendak masuk ke Cina," lanjutnya. 

Huda menilai perundingan menjadi salah satu solusi untuk bisa menurunkan tarif perdagangan Indonesia ke AS. Huda mengatakan pemerintah AS sudah menyatakan terdapat kebijakan-kebijakan pemerintah yang menghambat produk AS masuk ke Indonesia. 

"Padahal AS juga cukup sering memberikan non-tariff barriers untuk produk-produk luar negeri termasuk Indonesia," sambung dia. 

Huda menyebut pemerintahan Prabowo harus pintar menegosiasikan dan salah satu jalan melalui koalisi dengan negara lain. Huda mengatakan BRICS bisa menjadi salah pintu masuk, atau bilateral dengan negara yang mempunyai komoditas yang sama, seperti Malaysia untuk kasus CPO.

Terkait dengan salah satu kebijakan penghambat adalah devisa hasil ekspor yang merugikan pihak AS karena dolar AS akan lebih lama tersimpan di Indonesia. Huda menyampaikan aturan ini juga sejatinya merugikan pengusaha lokal kita karena ketersediaan dolar akan terbatas.

"Bagi perbankan, akan senang karena likuiditas akan tinggi. Tapi saya rasa kebijakan DHE ini memang patut dikaji ulang karena bagi pelaku usaha dalam negeri pun tidak menguntungkan," kata Huda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement