Rabu 19 Mar 2025 13:21 WIB

Ekonom Mandiri Sekuritas Berpandangan Ekonomi Global 2025 Lebih Kondusif 

Kondisi ekonomi global pada 2025 bergerak lebih positif dibandingkan tahun sebelumnya

Rep: Eva Rianti / Red: Gita Amanda
Kondisi ekonomi global pada 2025 bergerak lebih positif dibandingkan tahun sebelumnya.
Foto: VOA
Kondisi ekonomi global pada 2025 bergerak lebih positif dibandingkan tahun sebelumnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Chief Economist PT Mandiri Sekuritas Rangga Cipta berpendapat kondisi ekonomi global pada 2025 bergerak lebih positif dibandingkan tahun sebelumnya. Indonesia dinilai bisa memanfaatkan itu untuk pertumbuhan ekonomi, seiring dengan fundamental domestik yang dinilai kuat. 

“Dari sisi global, saya sampaikan bahwa situasinya sudah lebih kondusif dibandingkan tahun lalu. Kenapa saya bilang begitu? Yang pertama, inflasi global terus turun,” kata Rangga dalam agenda buka bersama dengan awak media di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (18/3/2025). 

Kondisi inflasi yang terus turun tersebut, dibarengi oleh turunnya suku bunga di berbagai negara, mulai dari Eropa hingga Amerika. 

“Yang kedua adalah dampak dari tarif Trump terhadap barang impor yang masuk ke Amerika ternyata tidak seburuk apa yang diekspektasikan sebelumnya,” ujar Rangga. 

Dia menjelaskan, pada tahun lalu diekspektasikan bahwa tarif Trump bisa mencapai hingga 60 persen bahkan di atas 100 persen. Tapi yang terjadi pada dua bulan pertama di 2025, tarif yang dikenakan oleh Trump tidak terlalu signifikan. 

“Walaupun tetap ada dampak negatifnya terhadap negara-negara yang bersangkutan. Kita melihat secara umum spillover ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia bisa dipastikan lebih minimal,” ungkapnya. 

Rangga mengatakan, ke depan, tetap perlu upaya waspada mengenai prospek tambahan tarif dari AS. Namun, ia menekankan bahwa secara umum, respons pasar di AS terlihat jelas, bahwa ketika ada pengumuman tarif, ada ekspektasi negatif terhadap ekonominya. Sehingga kondisi itu membuat pemerintahan AS akan lebih berhati-hati dalam menerapkan kebijakan tarif. 

“Singkat kata, tarif yang terlalu tinggi justru akan memberikan dampak negatif terhadap ekonomi sendiri, sehingga ini juga sebenarnya kalau kita melihat dampak global terhadap Indonesia sebenarnya sudah semakin positif,” jelasnya. 

Rangga memberikan contoh mengenai kondisi mata uang dolar AS yang dicerminkan oleh indeks dolar yang semakin mengalami penurunan. Hal itu menandakan sebenarnya aset berbasis dolar sudah lebih tidak menarik dibandingkan periode sebelumnya. Sehingga bisa menguntungkan negara-negara lain di luar AS terutama negara berkembang yang masih menawarkan return investasi yang cukup tinggi. 

“Sehingga mata uangnya (negara-negara berkembang) juga diuntungkan. Tapi lagi-lagi tentu akan sulit untuk kita completely terhindar dari efek kenaikan tarif Trump karena pasti kenaikan tarif akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global,” jelasnya. 

Ekonomi Domestik 

Rangga juga menerangkan mengenai pandangannya terhadap kondisi ekonomi domestik. Menurutnya, ekonomi dalam negeri terbilang masih tangguh. Hal itu berkaca dari kondisi krisis yang pernah dialami Indonesia dalam 10—20 tahun terakhir, dan berhasil dilewati. 

Ia mengatakan, Indonesia selalu kuat dari sisi permintaan domestik. Contohnya, krisis yang terjadi pada medio 2008—2009, ketika ada perlambatan ekonomi global, dampaknya terhadap Indonesia tidak sebesar di negara-negara lain yang permintaan domestiknya tidak terlalu kuat. 

“Sehingga untuk tahun ini kita melihat memang harusnya dukungan permintaan domestik itu masih akan cukup kuat. Sehingga spillover negatif dari dampak tarif oleh Trump itu bisa sedikit ter-offsetdengan permintaan domestik yang cukup kuat,” kata Rangga. 

Ia melanjutkan, lebih detail mengenai sisi domestik demand, salah satu sumber utamanya adalah permintaan rumah tangga. Menurutnya, sisi tersebut telah dibantu oleh stimulus-stimulus dari pemerintah semenjak akhir tahun 2024. Misalnya, diskon listrik sebesar 50 persen pada Januari dan Februari 2025, dampaknya dinilai cukup positif, sehingga bisa mendorong konsumsi domestik. 

“Dari sisi monetary kita juga melihat BI sudah memangkas suku bunganya di bulan Januari sehingga total 50 basis semenjak tengah tahun lalu dan likuditas juga diharapkan bisa improve ke depannya,” lanjutnya. 

Adapun di luar pertumbuhan ekonomi, Rangga menyebut berbagai indikator masih menunjukkan resiliensi dari ekonomi Indonesia. Seperti inflasi yang rendah dan neraca perdagangan yang cukup baik dengan angka surplus di atas 3 miliar dolar AS setiap bulannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement