REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga acuan tahun ini masih terbuka, tetapi tidak leluasa. Sejumlah faktor, baik domestik maupun global, menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan suku bunga.
Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede, menilai inflasi yang cenderung rendah di awal tahun dapat memberi kesempatan bagi BI untuk menurunkan suku bunga. Namun, ia mengingatkan bahwa efek kebijakan diskon listrik bagi masyarakat bersifat sementara.
“Artinya nanti inflasi di bulan Maret ataupun April ini akan kembali normalized. Sehingga hingga akhir tahun ini inflasi masih akan berkisar di kisaran 2 persen,” jelas Josua dalam Public Expose Permata Bank di Jakarta, Jumat (7/3/2025).
Selain inflasi, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah defisit transaksi berjalan. Josua mencatat defisit tersebut meningkat pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya dan diperkirakan akan melebar di atas 1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun ini.
Di tingkat global, pergerakan nilai tukar rupiah juga menjadi tantangan, terutama akibat kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS) dan perlambatan ekonomi China. “Karena kita tahu bersama bahwa dengan kebijakan tarifnya Trump ini akan berpengaruh langsung kepada perlambatan ekonomi Tiongkok. Dan juga berlambat kepada ekonomi global,” ungkap Josua.
Ia menambahkan, meskipun ada peluang bagi BI untuk menurunkan suku bunga, ruang pemangkasannya tidak besar dan akan terus dievaluasi berdasarkan perkembangan ekonomi. “Oleh sebab itu, kami melihat bahwa sekalipun ada ruang, tapi ruang penurunannya mungkin cukup terbatas. Dan akan di-assess terus oleh Bank Indonesia dari waktu ke waktu,” pungkasnya.
Dengan berbagai faktor yang berperan, kebijakan suku bunga BI tahun ini diperkirakan akan lebih berhati-hati, menyesuaikan dengan kondisi ekonomi dalam dan luar negeri.