REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menetapkan kebijakan pembatasan penjualan elpiji subsidi atau gas melon. Sayangnya, kebijakan tak populis ini justru membuat masyarakat bingung.
“Kalau ada yang menimbun atau menjual harga mahal, pemerintah kan punya alat untuk bertindak. Jangan rakyat yang dikorbankan,” ujar salah satu warga pangkalan di Cibodasari, Tangerang.
Sedangkan kebijakan ini dibuat menurut Bahlil karena menghindari persoalan kenaikan harga di eceran yang tak sesuai ketentuan HET. Padahal, keberadaan pengecer di tingkat lingkungan masyarakat justru memudahkan masyarakat mendapatkan sumber energi yang murah ini.
Slamet Hariyanto, pemilik warung di Banyuwangi, menyatakan bahwa kebijakan ini memudahkan masyarakat di daerah terpencil untuk mendapatkan LPG 3 kg. “Jika kebijakan itu dicabut dan kembali ke aturan lama, itu sangat membantu masyarakat,” katanya.
Warga lainnya turut berbicara. Ia meminta apa pun kebijakan pemerintah harus diperhitungkan dengan matang. Sehingga tidak membuat rakyat kebingungan dan kesulitan seperti ini.
"Saya pakai akal sehat, kalau memang ada yang nakal menimbun atau mengurangi si gas, bapak punya senjata. Bapak punya alat untuk bertindak. Bukan rakyat yang dikorbankan, itu yang pertama. Kedua, kalau kami suruh jadi sub (pangkalan), persyaratannya apa?"
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sempat mengeluarkan regulasi hanya pangkalan resmi Pertamina yang menjual gas melon. Ini agar pemerintah lebih mudah mengontrol identitas pembeli dan besaran harga. Teranyar, atas perintah Istana, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia membuat aturan baru, mengizinkan pengecer menjadi sub pangkalan.
Data Pertamina Patra Niaga menunjukkan sekitar 375 ribu pengecer terdaftar di Mercant Applications Pertamina (MAP).