REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar mata uang rupiah melanjutkan pelemahan pada perdagangan Kamis (9/1/2025). Pengamat menilai bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi BRICS masih menjadi sentimen yang menekan Mata Uang Garuda.
Mengutip Bloomberg, rupiah melemah 6,5 poin atau 0,04 persen menuju level Rp 16.217 per dolar AS pada penutupan perdagangan Kamis (9/1/2025). Pada perdagangan sebelumnya, rupiah juga melemah ke angka Rp 16.211 per dolar AS.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, kepesertaan Indonesia di BRICS yang secara resmi diumumkan pada Senin (6/1/2025) lalu memang menjadi upaya dalam memperkuat hubungan antar negara. Tidak hanya dengan China, tapi dengan Brasil dan Afrika Selatan maupun negara Timur Tengah. Indonesia juga berpeluang untuk berpartisipasi dalam solidaritas negara Global South dalam mengurangi hegemoni Barat yang ada saat ini.
“(Namun) di sisi lain, aliansi BRICS tidak begitu memberikan keuntungan untuk Indonesia karena ekonomi China diproyeksikan akan melambat terutama pascakembali terpilihnya Donald Trump yang memicu proteksionisme dagang,” ujar Ibrahim dalam keterangannya, Kamis (9/1/2025).
Ia menjelaskan, ketidakpastian ekonomi global karena perang dagang antara China dan AS akan mengacak stabilitas ekonomi di beberapa negara, dan hal itu dinilai tentunya akan berimbas pada Indonesia. Ditambah lagi ancaman Trump pada negara anggota BRICS jika melakukan dedolarisasi.
“Reaksi Trump perlu untuk diwaspadai, karena dia merupakan salah satu pemimpin yang membuktikan ucapannya. Jika, AS memberlakukan tarif 100 persen pada negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena imbas dari kebijakan tersebut, tidak bisa dipungkiri ini juga akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek atau menengah,” terangnya.
Hal itu, lanjut Ibrahim, juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volume ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS. Tidak hanya itu, kekhawatiran ketergantungan yang semakin kuat pada China masih menghantui Indonesia. Guna untuk menghindari hal tersebut, Indonesia lebih gencar mendiverifikasi mitra secara bilateral untuk survive dari ketidakpastian ekonomi global di masa yang akan datang.
Sentimen eksternal
Ibrahim melanjutkan, ada sejumlah sentimen luar negeri atau eksternal juga dalam memengaruhi pelemahan rupiah pada perdagangan hari ini. Diantaranya, imbal hasil obligasi AS terus meningkat, setelah CNN melaporkan Trump mempertimbangkan untuk mengumumkan keadaan darurat ekonomi nasional, guna memberikan landasan hukum bagi serangkaian tarif universal terhadap sekutu dan musuh. Serta meningkatnya keyakinan suku bunga AS akan turun lebih lambat tahun ini.
“Investor mengantisipasi kebijakan Trump seperti deregulasi dan pajak yang lebih rendah akan mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi ada kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut, bersama dengan tindakan tarif yang belum dikonfirmasi, dapat menyebabkan percepatan kembali inflasi,” ujar Ibrahim.
Ibrahim menyebut, saat ini pasar memperkirakan hanya 39 basis poin pelonggaran dari Federal Reserve tahun ini, dengan pemotongan suku bunga pertama kemungkinan akan terjadi pada Juni. Gubernur Fed Christopher Waller mengatakan pada Rabu inflasi akan terus turun pada tahun 2025 dan memungkinkan bank sentral AS untuk lebih lanjut menurunkan suku bunga, meskipun dengan kecepatan yang tidak pasti.
Selain itu, inflasi indeks harga konsumen sebagian besar tetap datar pada Desember, sementara inflasi indeks harga produsen menyusut selama 27 bulan berturut-turut. Data menunjukkan sedikit perbaikan dalam disinflasi China, bahkan ketika Beijing memberikan putaran tindakan stimulus paling agresif sejak akhir September.
“Sentimen konsumen yang lemah telah menjadi titik tekanan utama pada ekonomi Tiongkok, karena kekhawatiran atas perlambatan pertumbuhan dan penurunan pasar properti yang berkepanjangan sebagian besar menghalangi pengeluaran selama dua tahun terakhir,” jelas Ibrahim.