Senin 06 Jan 2025 14:57 WIB

Awalnya Pesimistis, Ternyata Defisit APBN di Luar Ekspektasi

Defisit APBN 2024 diklaim masih terjaga di kisaran target awal penganggarannya.

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Konferensi pers APBN KiTa Edisi Januari 2025 di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (6/1/2025).
Foto: Republika/Eva Rianti
Konferensi pers APBN KiTa Edisi Januari 2025 di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (6/1/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi angka defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2024 sebesar Rp 507,8 triliun, atau 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Realisasi tersebut dinilai cukup mengejutkan, karena pemerintah mulanya cukup pesimistis seiring dengan kondisi kejatuhan pada semester I 2024, namun ternyata angka defisit APBN 2024 diklaim masih terjaga di kisaran target awal penganggarannya. 

Pada awal penganggaran APBN 2024, pemerintah menetapkan defisit anggaran adalah sebesar Rp 522,8 triliun. Lantas dalam laporan semester (lapsem), pemerintah memproyeksikan defisit APBN hingga akhir tahun 2024 sebesar Rp 609,7 triliun atau 2,7 persen dari PDB. Akhirnya, realisasi defisit APBN 2025 justru tercatat sebesar Rp 507,8 triliun atau 2,29 persen dari PDB. 

Baca Juga

Berdasarkan laporan realisasi APBN 2024, tercatat angka realisasi pendapatan negara mencapai Rp 2.842,5 triliun, lebih tinggi dibandingkan outlook lapsem sebesar Rp 2.802,5 triliun dan APBN awal Rp 2.802,3 triliun. 

Sementara itu, angka realisasi belanja negara dalam APBN 2024 tercatat sebesar Rp 3.350,3 triliun, lebih rendah dibandingkan outlook lapsem sebesar Rp 3.412,2 triliun dan APBN awal Rp 3.325,1 triliun. 

“Defisit di Rp 507,8 triliun ini sangat impresif karena tidak hanya lebih rendah dari lapsem yang kami prediksi memburuk, namun juga bahkan lebih rendah dari APBN awal Rp 522,8 triliun,” kata Menteri Keuangan RI Sri Mulyani dalam konferensi pers realisasi ABN 2024 di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (6/1/2025). 

Srimul bercerita bahwa sebenarnya terjadi tekanan pada APBN pada 2024, terutama pada semester 1. Tantangan utama yang dihadapi pada semester 1/2024 adalah masalah El Nino, yang memengaruhi kondisi terganggunya stabilitas pangan. Hingga inflasi tercatat sempat tembus hingga mencapai 3,1 persen karena tingginya inflasi volatile food

Adapun kondisi pasar keuangan juga mengalami tekanan. Sinyal penurunan suku bunga AS (FFR) yang tertunda atau lebih kecil telah menjatuhkan nilai tukar rupiah hingga terdepresiasi di level Rp 16.421 per dolar AS pada Juni 2024. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mengalami tekanan. 

“Tekanan terhadap rupiah dan IHSG turut menekan surat berharga negara (SBN). Posisi SBN yield tertinggi semester 1 yaitu April dan Juni hingga 7,2 persen, padahal bulan Desember (2023) yield SBN 10 tahun masih di 6,5 persen, kenaikannya sampai 700 basis poin,” ujar Srimul. 

Pada semester 1/2024, Srimul juga menyebut harga komoditas melemah, dengan akhirnya mencatatkan angka realisasi angka penerimaan negara mengalami kontraksi hingga 6,25 persen (yoy). 

“Ini tidak terlepas dari El Nino yang menyebabkan pergerakan harga pangan, lalu situasi geopolitik menyebabkan uncertainty, harga minyak melonjak karena krisis Timur Tengah, juga harga batu bara yang (biasanya) memberi peningkatan signifikan bagi APBN, justru masih rendah. Jadi, kami sampaikan di lapsem kemungkinan defisit 2,7 persen dari PDB,” jelasnya. 

Kemudian memasuki semester II 2024, Srimul mengatakan, situasinya berbalik. Seperti kondisi harga minyak dunia yang mereda, sedangkan harga batu bara, nikel, dan CPO meningkat. Pada akhir semester II 2024 tepatnya Desember, bahkan inflasi mencapai level terendah sebesar 1,57 persen, turun jauh dari posisi tertinggi 3 persen pada semester I 2024. Penurunan inflasi terutama ditopang kontribusi inflasi volatile food yang mulai mereda, atas hasil kebijakan bersama tim pengendali inflasi, baik di daerah maupun nasional. 

“Penerimaan negara alami pembalikan dengan adanya pertumbuhan sehingga pada akhir tahun penerimaan negara tumbuh positif di 2,1 persen (yoy), ini membuat APBN tetap optimal,” ungkapnya. 

Tercatat, dari total pendapatan Rp 2.842,5 triliun, pendapatan negara dari perpajakan pada APBN 2024 mencapai Rp 2.232,7 triliun, meliputi penerimaan pajak sebesar Rp 1.932,4 triliun serta kepabean dan cukai mencapai Rp 300,2 triliun. Sementara itu, angka realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) adalah sebesar Rp 549,1 triliun, serta hibah sebesar Rp 34,9 triliun. 

Sementara itu, tercatat belanja negara pada APBN 2024 sebesar Rp 3.350,3 triliun atau tumbuh 7,3 yoy. Belanja pemerintah mencapai Rp 2.486,7 triliun berupa belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp 1.315 triliun dan belanja non K/L sebesar Rp 1.171,7 triliun. Sedangkan angka realisasi transfer daerah adalah Rp 863 triliun. 

Srimul sedikit mem-flashback kondisi APBN dalam dua tahun terakhir. Ia menyebut pada 2023, terjadi komoditas boom yang luar biasa kontribusinya bagi penerimaan negara. Yakni tercatat Rp 2.783 triliun, tumbuh 5,6 persen dibandingkan 2022. Sehingga pendapatan negara melonjak, dan defisit 2023 bisa ditekan di angka 1,61 persen dari PDB. 

“Namun 2024, dan sebagian 2023 kuartal akhir, saat komoditas terkoreksi, itu sangat berat. Meski begitu, pajak, bea cukai, PNBP tetap bisa menjaga sehingga pendapatan kita masih tumbuh di 2024,” tegasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement