REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae menjelaskan, dalan sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan kredit perbankan Indonesia cenderung bergerak dalam kisaran 7-12 persen, jauh lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang mampu menembus angka 20 persen. Dian mengungkapkan sejumlah faktor yang menyebabkan penurunan signifikan dalam laju pertumbuhan kredit.
"Pada periode sebelum 2013, kredit perbankan Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi, bahkan bisa mencapai lebih dari 20 persen. Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan quantitative easing oleh The Fed, lonjakan harga komoditas global, serta basis data kredit yang relatif lebih rendah pada masa itu," jelas Dian dalam jawaban tertulis Konferensi Pers RDKB Oktober 2024 yang diterima Kamis (14/11/2024),
Dia menambahkan, pemangkasan suku bunga oleh The Fed antara 2009 hingga 2015, yang berada di level 0-0,25 persen, mendorong masuknya aliran modal besar (capital inflow) ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Kondisi ini turut memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melampaui 6 persen pada tahun 2010-an, yang pada gilirannya mendorong permintaan kredit yang sangat tinggi.
Namun, situasi ekonomi global saat ini berbeda. Sebagian besar bank sentral di dunia, termasuk The Fed, masih mempertahankan suku bunga yang tinggi akibat ketidakpastian geopolitik dan kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya stabil. Meskipun ada tren pergeseran kebijakan moneter ke arah lebih longgar (dovish), Dian mengungkapkan bahwa likuiditas global tetap terbatas dan pasar investasi cenderung lebih memilih instrumen yang lebih aman, seperti US Treasury dan komoditas emas.
"Pertumbuhan kredit saat ini lebih moderat, karena selain kondisi likuiditas yang ketat, peraturan keuangan global semakin mengarah pada prinsip keberlanjutan, dan tantangan pengembangan pengusaha baru juga menjadi faktor yang menghambat. Peralihan ke energi terbarukan juga mempengaruhi permintaan terhadap komoditas utama Indonesia, yang dulunya menjadi pendorong pertumbuhan kredit yang cepat," tambah Dian.
Meskipun ada tantangan besar, OJK terus memantau pertumbuhan kredit secara keseluruhan, termasuk memastikan bahwa pertumbuhan kredit yang signifikan di beberapa bank tetap dijalankan secara hati-hati dan prudent. Dian menekankan pentingnya mitigasi risiko melalui pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) untuk kredit yang baru disalurkan, sesuai dengan penerapan PSAK 71.
"Dengan rasio NPL (Non-Performing Loan) yang terjaga pada 2,21 persen dan Loan at Risk (LaR) sebesar 10,11 persen pada September 2024, kami melihat bahwa risiko kredit masih terkendali. Selain itu, permodalan perbankan yang kuat dengan CAR (Capital Adequacy Ratio) mencapai 26,85 persen memberi bantalan yang cukup untuk memitigasi risiko yang mungkin muncul," ujar Dian.