Ahad 22 Sep 2024 21:25 WIB

Penyerapan Tenaga Kerja Dari Sektor Pertanian Alami Penurunan, INDEF Beberkan Penyebabnya

Paling utama, karena dari faktor kesejahteraan.

Rep: Fredikus Dominggus/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi para petani memanen padi secara tradisional di sawah yang mereka garap, di lingkungan di Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, pada masa panen raya padi Februari 2023 lalu. Dispertanikap Kabupaten Semarang melakukan antisipasi dalam menjaga produktifitas pertanian di tengah prediksi El Nino lemah yang berpeluang terjadi pada pertengahan tahun ini.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Ilustrasi para petani memanen padi secara tradisional di sawah yang mereka garap, di lingkungan di Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, pada masa panen raya padi Februari 2023 lalu. Dispertanikap Kabupaten Semarang melakukan antisipasi dalam menjaga produktifitas pertanian di tengah prediksi El Nino lemah yang berpeluang terjadi pada pertengahan tahun ini.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut ada fenomena semakin hilangnya minat anak muda berkarya di sektor pertanian. Beberapa hal menjadi penyebab.

Paling utama, karena dari faktor kesejahteraan. Jaminan mendapat kehidupan yang lebih baik cenderung menurun. Alhasil beberapa berganti haluan.

Baca Juga

"Kesejahteraan yang tidak menjamin di sektor pertanian, sehingga sangat wajar para tenaga kerja kita meninggalkan sektor pertanian dan beralih ke sektor lain, khususnya di sektor jasa," kata Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development  INDEF, Abra Talattov dalam diskusi  JUARA (Forum Jurnalis dan Akademisi) bertajuk Pengutan Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan: Pekerjaan Rumah Pemerintah Prabowo-Girbran, disiarkan secara langsung lewat media sosial LP3ES, Ahad (22/9/2024).

Ia menunjukkan data pada 2020, penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian berada di angka 29,8 persen. Tiga tahun berselang (2023) turun ke angka 29,4 persen. Ini mengacu pada catatan Biro Pusat Statistik (BPS). 

Sektor Pertanian atau khususnya pangan sedang menjadi sorotan. Sebagai latar belakang diskusi ini, tim Juara memuncukkan data angka kemiskinan di Indonesia memang telah mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir, dari 10,14 persen pada 2021 menjadi 9,03 persen pada 2024. Begitu pula angka kemiskinan ekstrem yang menurun dari 2,25 persen di 2020 menjadi 0,83 persen pada tahun 2024. Namun, menurut Bank Dunia, tingkat kemiskinan ini masih dianggap tinggi, dan Indonesia belum memenuhi target penurunan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen sebagaimana ditargetkan pemerintah tahun 2024. Global Finance mencatat Indonesia sebagai salah satu dari 100 negara termiskin di dunia pada tahun 2023.

Di Jawa Tengah, masalah kemiskinan juga masih menjadi perhatian. Litbang Kompas mencatat pada tahun 2023 terdapat 3,79 juta penduduk miskin, atau 10,77 persen dari seluruh populasi di provinsi tersebut. Dengan kata lain, masih ada 3,79 juta jiwa di Jawa Tengah yang pengeluarannya dalam sebulan berada di bawah standar garis kemiskinan versi BPS, yaitu Rp 472.525.

Masalah kemiskinan di Indonesia, termasuk di Jawa Tengah, sangat berkaitan dengan lemahnya ketahanan pangan. Saat ini, Indonesia belum memiliki solusi pengembangan ketahanan pangan yang handal dan masih bergantung pada impor beberapa komoditas pangan, termasuk beras. Hal ini menunjukkan bahwa kemandirian pangan belum tercapai.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement