Rabu 18 Sep 2024 19:24 WIB

Ini Lima Alasan BI Pangkas Suku Bunga pada September 2024

Indeks dolar AS juga mengalami pelemahan.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.
Foto: Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan alasan diputuskannya kebijakan menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) September 2024.

“Ada lima pertimbangan kenapa timing-nya sekarang menurunkan BI Rate dan besarannya 25 basis poin,” kata Perry dalam konferensi pers RDG September 2024 di Kompleks BI, Jakarta, Rabu (18/9/2024).

Baca Juga

Pertama adalah faktor kejelasan arah penurunan suku bunga The Fed (FFR), berkaca dari kondisi perekonomian yang melambat di AS. Menurut analisisnya, bank sentral AS atau The Federal Reserve kemungkinan besar akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada bulan ini dalam gelaran FOMC.

“Perkiraan kami dengan data terbaru kemungkinan turunnya adalah September, November, dan Desember masing-masing 25 basis poin,” tutur dia.

Perry menjelaskan, FFR tersebut berpengaruh terhadap US Treasury note 2 tahun yang oleh investor asing digunakan untuk menentukan pembelian Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). US Treasury note 2 tahun saat ini disebut telah mengalami penurunan, bahkan lebih rendah dari US Treasury note 10 tahun.

“Ini yang kemudian yield diferensiasinya dengan negara berkembang lebih tinggi, dan ini mendorong inflow yang besar termasuk ke Indonesia. Portofolio inflow (arus masuk modal asing) 10,1 miliar dolar AS (ytd) pada triwulan III ini,” tutur dia.

Di samping itu, indeks dolar AS juga mengalami pelemahan, menyusul diturunkannya suku bunga bank sentral Eropa (ECB). Kebijakan ECB itu meyakinkan pertumbuhan ekonomi Uni Eropa akan bergerak positif, sehingga terjadi penguatan Euro dan menyebabkan dolar AS melemah.

“Tiga hal itu (kejelasan FFR tidak hanya lebih cepat tapi jauh lebih besar, penurunan US Treasury note yang lebih besar dan akan berpengaruh terhadap suku bunga SRBI, dan nilai tukar dolar cenderung melemah) menjadi alasan. Jadi kami sudah menakar probabilitas itu, sehingga enggak harus menunggu FFR turun,” terangnya.

Kemudian pertimbangan kedua yakni pergerakan nilai tukar rupiah yang stabil, bahkan cenderung menguat. Perry mengaku selama ini mempertahankan suku bunga karena sangat mempertimbangkan stabilitas nilai tukar rupiah.

“Dengan langkah-langkah yang selama ini dilakukan termasuk penerbitan SRBI, rupiah menguat di kisaran Rp 15.300—Rp 15.400, yang kalau kita bandingkan dulu sempat di kisaran Rp 16.500—Rp 16.700,” ujar Perry.

Menurut catatan BI, kepemilikan nonresiden dalam SRBI mencapai hingga Rp 246,08 triliun. Angka itu berkontribusi 26,79 persen dari total outstanding, sehingga memberi dukungan pada stabilitas nilai tukar rupiah.

Ketiga, inflasi yang bergerak rendah. Bahkan dalam empat bulan berturut-turut terjadi deflasi. Hal itu tercermin dari angka inflasi indeks harga konsumen (IHK) tercatat rendah di seluruh komponen sehingga mencapai sebesar 2,12 persen (yoy) pada Agustus 2024.

Inflasi inti tercatat sebesar 2,02 persen (yoy), sementara inflasi volatile food (VF) terus menurun menjadi 3,04 persen (yoy) dari level bulan sebelumnya 3,63 persen (yoy).

Dengan demikian, BI ingin memperkuat komitmen dalam mempertahankan terkendalinya sasaran inflasi sebesar 2,5±1 persen pada 2024 dan 2025.

Pertimbangan keempat yakni kebijakan moneter yang balance, bertransformasi dari pro-stability. Perry menjelaskan, kini merupakan waktu yang tepat untuk menurunkan suku bunga guna mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Selama ini dukungan BI untuk pertumbuhan ekonomi setidaknya tiga hal, yaitu melalui kredit pembiayaan, insentif kebijakan likuditas makroprudensial, dan sistem pembayaran.

Menurut catatannya, kebijakan insentif likuiditas makroprudensial sebesar Rp 256,1 triliun, perinciannya untuk Bank BUMN Rp 118,6 triliun, BUMS Rp 110,5 triliun, BPD Rp 24,4 triliun, dan KCBA sebesar Rp 2,6 triliun.

“Jadi ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tiga kebijakan sekarang kan memang sudah mulai, moneter sekarang sudah mulai balance, sebelumnya kan pro-stability, sekarang balance antara stability and growth. Sementara makroprudensial dan sistem pembayaran sejak awal sudah pro-growth,” ujar Perry.

Kelima, pertimbangan untuk mendorong lebih lanjut penyaluran kredit ke perbankan. Di samping itu juga mendukung fiskal, khususnya pembiayaan fiskal.

“Selain insentif likuiditas, penurunan suku bunga kami harapkan disambut baik oleh perbankan, dengan semakin giat menyalurkan kredit. Diharapkan suku bunga deposito dan suku bunga kredit juga turun, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement