Selasa 21 May 2024 23:20 WIB

Jakarta Masih Menjadi Kiblat Fesyen Indonesia

Hal itu menjadi peluang bagi desainer untuk terus berkreasi.

Pengunjung mengamati produk batik yang dijual di salah satu stan saat pembukaan kembali Mal Sarinah di Jakarta, Senin (21/3/2022) (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Wahyu Putro A/wsj.
Pengunjung mengamati produk batik yang dijual di salah satu stan saat pembukaan kembali Mal Sarinah di Jakarta, Senin (21/3/2022) (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat mengemukakan bahwa Jakarta meski tak lagi menyandang Ibu Kota Negara (IKN), tapi masih menjadi kiblat fesyen (busana) bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Hal itu menjadi peluang bagi desainer untuk terus berkreasi.

"Saat ini brand-brand fesyen dunia justru mengincar Jakarta sebagai target pasar, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi desainer lokal untuk bersaing," kata pengamat fesyen, Hartono di Jakarta, Selasa (21/5/2024).

Baca Juga

Alasan memilih Jakarta, menurut dia, mengingat di provinsi ini terdapat beragam perhelatan nasional maupun internasional sehingga membutuhkan busana yang sesuai dengan tema-tema yang ada. Tak hanya itu, tradisi masyarakat timur (Asia) termasuk Indonesia yang senang untuk kegiatan seremonial seperti pernikahan yang melibatkan banyak orang (undangan) yang tentunya menjadi peluang pasar tersendiri di industri fesyen.

Namun salah satu keunggulan dari desainer fesyen Tanah Air adalah penguasaan di bidang wastra yang memang kaya di tanah air sehingga menjadi salah satu keunggulan kompetitif. Menurut dia, seharusnya dapat mengadopsi tren busana dunia seperti salah satu brand internasional untuk busana wanita memiliki ragam yang sangat banyak menyesuaikan tipe wanita tersebut.

"Ada wanita yang kerap tampil maskulin tetapi ada juga yang tetap menonjolkan sisi kewanitaan atau ada juga yang wanita yang dinamis. Semua itu kalau di merek (brand) terkenal banyak variannya," kata Hartono.

Terkait peluang di kancah mode internasional, Dewan Komite Pintu Inkubator Theresia Mareta giat menjaring desainer lokal untuk mengikuti program inkubasi agar berani untuk tampil di salah satu kiblat mode dunia di Paris, Prancis. "Kalau dari jahitan maupun desain baju tidak kalah dengan 'brand' dunia yang terkenal sekalipun. Tetapi kendalanya hanya mereknya tidak dikenal atau terlalu kecil. Sehingga penting untuk dikenalkan di dunia," kata Theresia dalam bincang-bincang wadah mode "JF3 Talk".

Menurut dia, banyak dari desainer di Indonesia kreatif dalam menciptakan mode busana, tetapi lemah dalam mengembangkan bisnisnya. Maka ada beberapa cara agar brand yang masih kecil-kecil itu bisa kuat yakni dengan menggandeng mitra atau merekrut orang yang memiliki kemampuan bisnis untuk memperkuat merek.

"Dari sisi ide kreatif mereka unggul bahkan terkadang tidak pernah dipikirkan oleh desainer yang sudah eksis. Tetapi mereka tidak mengetahui sumber uang yang bisa menghubungkan ide mereka," kata Theresia yang juga penasihat JF3.

Theresia mengaku untuk tahun ini peserta inkubator yang bergabung hanya tujuh brand saja atau di bawah peserta tahun 2023 yang mencapai 12 brand. "Kami seleksi ternyata hanya tujuh brand itu yang layak agar mampu masuk ke kancah mode dunia," ucap Theresia.

Theresia menjelaskan kurasi untuk mengikuti program inkubator itu sangat ketat seperti pada tahun lalu peserta 400 brand tetapi di tahap seleksi hanya lolos 50 brand serta di tahap akhir hanya ada 12 yang lolos.

Program inkubator ini hanya berjalan selama enam bulan selanjutnya mereka harus bisa menjalankan sendiri untuk mengembangkan brand yang dimiliki. "Peserta yang kami pilih harus mengusung wastra nusantara dan harus berkelanjutan (sustain). Jangan sampai sudah dipilih terus berhenti di tengah jalan," kata Theresia. 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement