REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- BYD dan produsen kendaraan listrik China lainnya belakangan gencar melakukan ekspor ke sejumlah pasar di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Langkah ini dilakukan produsen mobil listrik China untuk menyalurkan kelebihan kapasitas produksi di pasar domestik China.
Untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat manufaktur EV Asia Tenggara, Direktur The International Institute of Management and Development (IMD) Center for Future Readiness, Howard Yu, melalui keterangan tulis kepada REPUBLIKA, menyarankan sejumlah langkah.
Pertama, mengembangkan kebijakan, aturan, dan insentif, untuk mendukung adopsi dan manufaktur kendaraan listrik. Misalnya berupa pembebasan pajak, subsidi, infrastruktur pengisian daya, dan persyaratan kandungan lokal.
Kedua, fokus pada penyediaan listrik pada angkutan umum (bus, kendaraan roda 2, roda 3) dan armada komersial. "Sebab segmen ini penghematan biayanya merupakan yang tertinggi," ujar Yu, Selasa (21/5/2024).
Saran ketiga, tarik investasi asing dan kolaborasi untuk manufaktur kendaraan listrik, produksi baterai, dan pengolahan mineral.
Keempat, manfaatkan cadangan nikel Indonesia yang besar dengan menawarkan insentif. Dengan memberikan keringanan pajak dan subsidi kepada pembuat kendaraan listrik dan baterai, sehingga diharapkan bisa meningkatkan kemampuan pemrosesan dan manufaktur hilir untuk baterai dan kendaraan listrik.
"Dengan begitu, Indonesia bisa bersaing dengan China, Korea Selatan, dan Jepang, yang memiliki teknologi dan manufaktur baterai yang lebih unggul," ungkap Yu.
Terakhir, bekerja sama dengan negara Asia Tenggara lain untuk menyelaraskan standar kendaraan listrik, insentif, dan infrastruktur untuk menciptakan pasar dan rantai pasokan regional.