Kamis 11 Apr 2024 09:50 WIB

ADB Perkirakan Perekonomian Kawasan Asia Tumbuh 4,9 Persen pada 2024

Pertumbuhan Tiongkok diperkirakan melambat menjadi 4,8 persen tahun ini.

Jakarta, Indonesia. ADB memperkirakan perekonomian kawasan Asia dan Pasifik tumbuh rata-rata 4,9 persen pada 2024.
Foto: EPA-EFE/MAST IRHAM
Jakarta, Indonesia. ADB memperkirakan perekonomian kawasan Asia dan Pasifik tumbuh rata-rata 4,9 persen pada 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asian Development Bank (ADB) memperkirakan perekonomian kawasan Asia dan Pasifik tumbuh rata-rata 4,9 persen pada 2024, didukung kuatnya permintaan domestik, membaiknya ekspor semikonduktor, dan pulihnya pariwisata.

"Kami berpandangan bahwa pertumbuhan pada mayoritas perekonomian di kawasan Asia yang sedang berkembang akan stabil pada tahun ini dan tahun berikutnya,” kata Kepala Ekonom ADB Albert Park di Jakarta, Kamis (11/4/2024).

Baca Juga

Pertumbuhan akan berlanjut dengan tingkat yang sama tahun depan, demikian menurut laporan Asian Development Outlook (ADO) April 2024 yang dirilis oleh ADB hari ini. Inflasi diperkirakan akan melandai pada 2024 dan 2025, setelah terdongkrak naik oleh peningkatan harga pangan di berbagai perekonomian selama dua tahun terakhir.

Albert menuturkan pertumbuhan yang lebih kuat di Asia Selatan dan Tenggara yang didorong oleh permintaan domestik dan ekspor, mengimbangi perlambatan di Tiongkok akibat kemerosotan pasar properti dan lemahnya konsumsi.

India diproyeksikan akan tetap menjadi mesin pertumbuhan penting di Asia dan Pasifik, dengan pertumbuhan 7 persen pada 2024 dan 7,2 persen di 2025.

Pertumbuhan Tiongkok diperkirakan melambat menjadi 4,8 persen tahun ini dan 4,5 persen tahun depan, dari sebelumnya 5,2 persen tahun lalu.

"Keyakinan konsumen masih membaik dan investasi secara keseluruhan masih kuat. Permintaan eksternal pun tampaknya sudah berbalik positif, terutama dalam hal semikonduktor," ujarnya.

Namun, para pembuat kebijakan harus tetap waspada karena masih ada sejumlah risiko. Berbagai risiko itu termasuk gangguan rantai pasokan, ketidakpastian mengenai kebijakan moneter Amerika Serikat, efek cuaca ekstrem, dan berlanjutnya pelemahan pasar properti di China.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement