Senin 18 Mar 2024 16:32 WIB

Dukung Revisi Program Subsidi Gas Industri, Ini Saran Ekonom

Candra menyarankan agar dilakukan pembatasan terhadap industri penerima manfaat.

(Ilustrasi) Pabrik pupuk merupakan salah satu industri penerima HGBT.
Foto: Pupuk Kaltim
(Ilustrasi) Pabrik pupuk merupakan salah satu industri penerima HGBT.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Universitas Brawijaya Prof Candra Fajri Ananda menilai, program subsidi harga gas bumi tertentu (HGBT) kepada sejumlah industri tidak efektif. Program yang telah dijalankan sejak April 2020 ini tidak menjadikan produk-produk dari para penerima gas murah tersebut lebih efisien dan harganya kompetitif di pasar. 

“Kebijakan HGBT ini seharusnya mampu menurunkan harga pokok produksi (HPP), tetapi dalam praktiknya tidak terjadi penurunan signifikan,” ujar Candra melalui keterangan tertulis, Senin (18/3/2024). 

Baca Juga

Menurutnya, meskipun harga eceran produk tidak berubah, namun HPP tidak turun. Itu sebabnya, ia menilai bahwa tantangan yang dihadapi oleh sektor industri bukan pada persoalan gas, melainkan akibat kegiatan operasional perusahaan yang efisien.  

“Kami mendeteksi bahwa sektor korporasi mungkin tidak beroperasi secara efisien yang mengakibatkan potensi kerugian yang signifikan. Korporasi juga perlu memastikan penggunaan gas meningkat, ketersediaan dan distribusi gas lancar, serta efisiensi dalam penyaluran,” ujarnya.

Candra menyarankan agar dilakukan pembatasan terhadap industri penerima manfaat. Ia menyampaikan, program ini memiliki trade off yang menguntungkan beberapa pihak namun merugikan yang lain, sehingga diperlukan peninjauan kembali.

Dari tujuh sektor industri yang mendapatkan subsidi HGBT, ia melanjutkan, industri pupuk paling memiliki multiplier effect. Oleh karenanya, jika kebijakan ini dihentikan harga pupuk dipastikan akan melambung. “Sebaiknya program seperti ini harus lebih difokuskan ke industri yang berdampak pada hajat hidup orang banyak seperti pupuk,” sebut Candra.

Berdasarkan data pemerintah pada tahun 2022, komponen biaya gas dalam biaya produksi bervariasi. Paling tinggi adalah industri pupuk di mana komponen biaya gas mencapai 58,48 persen, kemudian kaca 24,84 persen, keramik 17,87 persen, oleochemical 8,96 persen, dan petrokimia sekitar 7,72 persen. Adapun kontribusi biaya gas di industri baja sekitar 7,26 persen dan yang paling rendah industri sarung tangan sebesar 5,90 persen.

Sebelumnya, Founder and Advisor Reforminer Institute, Lembaga Riset Pertambangan dan Ekonomi Energi, Pri Agung Rahmanto mengatakan, evaluasi terhadap kebijakan harga gas bumi tertentu alias HGBT tidak akan berdampak terhadap daya saing industri dalam negeri. Selain komponen gas bumi kontribusinya rendah, daya saing sebuah industri dipengaruhi oleh banyak aspek. 

“Ada banyak faktor yang memengaruhi daya saing sebuah industri seperti permintaan pasar, sumber daya, strategi industri dan juga keterkaitannya dengan industri pendukung dalam mata rantai industri tersebut. Harga gas hanya salah satu aspek dari sumber daya, khususnya aspek biaya,” ujar Pri.

Argumen Pri tersebut sejalan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang diterbitkan oleh S&P Global. Dalam rilisnya pada 1 Februari 2024, menyatakan bahwa sektor manufaktur Indonesia berekspansi pada laju lebih cepat pada awal 2024. 

S&P Global menyatakan bahwa pertumbuhan sektor manufaktur mengalami percepatan, didukung oleh kenaikan lebih cepat pada permintaan baru karena kondisi  permintaan secara keseluruhan membaik dan basis pelanggan naik. Permintaan asing juga membaik, namun kecepatan pertumbuhan permintaan ekspor masih marginal.

Hal ini mendorong kenaikan aktivitas pembelian dan persediaan inventaris input, meski upaya perekrutan terbatas. Keseluruhan kepercayaan diri bisnis bertahan positif, sementara tekanan inflasi berkurang pada bulan Januari. PMI Manufaktur Indonesia  naik ke posisi 52,9 pada bulan Januari dari 52,2 pada bulan Desember 2023. 

Kebijakan HGBT terjadi di tengah pasokan gas bumi yang terus menurun di wilayah Sumatera bagian selatan, Sumatera bagian tengah, dan Jawa bagian barat. Ketiga wilayah itu merupakan konsumen gas terbesar yang telah didukung dengan jaringan gas pipa yang cukup matang.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, saat ini kawasan barat mengalami defisit gas. Hal ini terjadi akibat penurunan pasokan gas dari sejumlah sumur migas, terutama dari blok Corridor, Sumatera Selatan yang dikelola oleh Medco Energi International.

Berdasarkan data kementerian, pada awal 2024, blok Corridor hanya mampu menyalurkan gas sekitar 440 mmscfd kepada PGN yang bertindak selaku penyalur kepada konsumen. Realisasi penyaluran gas dari blok itu turun drastis mengingat di tahun 2022 dan 2023 masih mampu menyalurkan gas hingga 850 mmscfd.    

Untuk mengatasi defisit gas itu, Menteri ESDM mengalokasikan tambahan 11 kargo LNG dari lapangan Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat ke PGN. “Defisit gas itu juga urusan pemerintah, karena permintaan listriknya bertambah,” ujar Arifin.

sumber : Rilis
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement